Contact Us - Privacy Policy - Disclaimer - Terms of Service - About
Showing posts with label Balaghah. Show all posts
Showing posts with label Balaghah. Show all posts

Pengertian Ilmu Balaghah (علم البلاغة) Beserta Objek Kajiannya dalam Bahasa Arab

Balaghah adalah salah satu ilmu di dalam bahasa Arab yang sangat menarik untuk dibahas. Ilmu Balaghah sendiri telah lama dikenal seiring dengan berkembangnya sastra Bahasa Arab. Pengertian  balaghah (بلاغة) dalam arti bahasa yaitu barasal dari lafadz بلغ , yang memiliki arti sampai atau mencapai. Sama artinya dengan kata وصل dan انتهى. Makna tersebut sama seperti yang tertera di dalam kitab al-qur’an, yaitu pada surat al-kahfi, ayat 90:



Balaghah

Balaghah adalah salah satu ilmu di dalam bahasa Arab yang sangat menarik untuk dibahas. Ilmu Balaghah sendiri telah lama dikenal seiring dengan berkembangnya sastra Bahasa Arab. Pengertian  balaghah (بلاغة) dalam arti bahasa yaitu barasal dari lafadz بلغ , yang memiliki arti sampai atau mencapai. Sama artinya dengan kata وصل dan انتهى. Makna tersebut sama seperti yang tertera di dalam kitab al-qur’an, yaitu pada surat al-kahfi, ayat 90:


حَتَّى إِذَا بَلَغَ مَطْلِعَ الشَّمْسِ وَجَدَهَا تَطْلُعُ عَلَى قَوْمٍ لَمْ نَجْعَلْ لَهُمْ مِنْ دُونِهَا سِتْرًا (٩٠


“Sehingga jika Dia sudah sampai ke tempat terbit matahari (sebelah Timur), Dia mendapati matahari itu menyinari segolongan umat yang Kami tidak menjadikan bagi mereka sesuatu yang melindunginya dari (cahaya) matahari itu.”

Adapun secara istilah balaghah merupakan sifat kalaam dan mutakallim sehinga dapat dikatakan ucapan yang baligh (perkataannya tercapai/sampai dengan yang dimaksud) dan mutakallim yang baligh (tercapai/sampai yang dikatakan). Balaghoh juga dapat diartikan sebagai kesesuaian antara konteks ucapan dan situasi & kondisi lawan biacara yang disertai dengan penggunaan kalimat/bahasa yang fashih, jelas, dan mudah dipahami. Balaghah sendiri tidak dapat menjadi sifat untuk kalimat, dan perkara inilah yang membuatnya berbeda dengan fashahah.


Objek Pembahasan Ilmu Balaghah

Ilmu balaghah adalah disiplin ilmu yang sangat berhubungan dengan masalah kalimat, yakni tentang tarkibnya, artinya, bembekas di jiwa, keindahan kata, dan keahlian dalam menentukan diksi atau memilih kata yang sesuai dengan tata bahasa dan indah didengar. Ilmu balaghah memiliki tiga objek kajian, yakni:


1. Ilmu Bayaan ( علم البيان )
Ilmu bayaan dalam bahasa artinya adalah ‘terang’ atau ‘jelas. Sedangkan secara istilah dalam ilmu balaghah, bayaan adalah salah satu unsur ilmu di dalam balaghah yang menjelaskan tentang cara-cara atau  metode-metode menyampaikan sebuah pemikiran, ide, gagasan, atau ungkapan dengan tarkib atau susunan yang bervariasi. bidang pembahasan ini untuk pertama kalinya dimodifikasi oleh beliau Abu Ubaidah Ibn al-Matsani dalam kitabnya " مجاز القران ". Fokus kajian dalam bidang ilmu ini adalah:
 تشبيه (penyerupaan)
مجاز  (majaz)
 كناية (konotasi)


2. Ilmu Ma’aniy ( علم المعانى )
Ilmu ma'aniy secara bahasa adalah ‘maksud’, ‘arti’, atau ‘makna’. Dalam hal ini para ulama ilmu ma’ani mengartikan ilmu ma'aniy sebagai penyampaian melalui ungkapan sesuatu yang ada dalam pikiran seseorang atau disebut juga gambaran dari pikiran. Sedangkan menurut istilah, ilmu ma’ani adalah:

“Salah satu unsur atau cabang ilmu dalam balaghah yang mempelajari hal ihwal bahasa Arab yang mengikuti tuntutan situasi dan kondisi.”


Abd al-Qahir al-Jurzanji adalah seorang ulama yang mengembangkan Ilmu ma'aniy untuk pertama kalinya. Sedangkan fokus pembahasan ilmu ma'aniy adalah kalimat-kalimat dalam bahasa Arab.


3. Ilmu Badii’ ( علم البديع)
Secara pengertian leksikal, ilmu badi’ adalah sesuatu atau ciptaan baru yang belum ada bahkan tidak ada contoh sebelumnya. Adapun secara istilah ilmu badii' yaitu salah satu cabang ilmu dalam balaghah yang menjelaskan tentang cara-cara atau kaifiyah yang digunakan untuk memperindah kalimat dan memembuatnya sangat nikmat untuk dibaca, diucapkan, ataupun didengar), dalam ilmu badii' juga dijelaskan tentang keunggulan sebuah kalimat sehingga dapat membuat kalimat semakin indah, baik serta memodifikasinya dengan keindahan kalimat tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi lawan bicara dan telah jelas makna yang dikehendakinya.

Pengusung dasar atau pelopor ilmu badi’  yaitu beliau Abdullah Ibn al-Mu’taz (W. 274 H). Sedangkan Fokus pembahasan ilmu ini yaitu upaya untuk memperindah suatu kalimat, baik itu dalam tatanan lafadz ataupun makna.

Pengertian Fashahah [الفصاحة] dan Balaghah [البلاغة] dalam bahasa Arab

Pengertian Fashahah [الفصاحة] dan Balaghah [البلاغة] dalam bahasa Arab



A. Pengertian Fashahah [الفصاحة]

Fashahah dalam arti bahasa mempunyai banyak arti, di antaranya adalah 'البَيَانُ / jelas, fashih' dan 'الظُهُوْرُ / nampak'. Allah berfirman:


وَاَخِيْ هٰرُوْنُ هُوَ اَفْصَحُ مِنِّيْ لِسَانًا  
[۳۴ :القصص ]

"Dan saudaraku Harun, dia lebih fasih lidahnya daripada aku" [QS. Al-Qashas: ayat 34]

Maksud ayat di atas yaitu 'perkataannya lebih jelas dariku'.

Adapun pengertian fashahah dalam arti istilah yaitu perkataan yang terbentuk dari susunan lafadz yang jelas, terang benderang, yang membuat pendengar segera paham dengan apa yang dikatakan, dan juga sangat familiar bagi para pengarang kitab dan juga para pengarang sya'ir karena suatu kata yang mempunyai sifat fashahah [فصاحة] mempunyai keindahan tersendiri saat ia dibaca maupun saat didengar.

Fashahah juga menjadi sifat bagi الكلمة (kata), (perkataan/ucapan) الكلام dan المتكلم (pembicara). Bagaimana tidak, setiap kata bahkan ucapan yang dikeluarkan oleh mutakallim atau pembicara tentunya mempunyai niali tersendiri, ketika kata atau ucapan tersebut dikeluarkan dengan fashih atau jelas, maka ini juga menjadi sifat yang baik bagi kata, ucapan, dan orang yang mengungkapkannya.

Fashahah sendiri setidaknya ada tiga (3) unsur yang paling mendasar dan harus dimiliki agar suatu ucapan dapat dikatakan fashahah atau jelas / fashih, ketiga syarat itu adalah:
  1. Fashahatul Kalimah [فصاحة الكلمة]
  2. Fashahatul Kalaam [فصاحة الكلام]
  3. Fashahatul Mutakallim [فصاحة المتكلّم]
Penjelasannya :

1. Fashahatul Kalimah [فصاحة الكلمة]
Fashahahnya sebuah kata atau jelasnya sebuah kata harus terhindar dari beberapa poin di bawah ini, yaitu:

a. Tanaafurul Huruf [تنافُر الحروف]
yang dimaksud tanaafurul huruf yaitu karakter kata yang sulit atau berat saat didengar dan sulit juga saat diucapkan dengan lisan dikarenakan oleh huruf-huruf dalam kata tersebut yang makhorijul hurufnya terlalu berdekatan. Tanaafurul huruf dibagi menjadi dua, yaitu:
  • sangat sulit atau berat saat diucapkan dan didengarkan contoh seperti kata:
    'الظَّشُ'  [tanah tandus]
    'هُعْخُعٌ' [rumput yang biasa dimakan unta]
  • ringan saat diucapkan dan didengar, contoh seperti kata:
    'النَّقنقَة'  [suara katak]
    'النُّقَاخ'  [air tawar yang jernih]
    'مُسْتَشْزِرَاتٌ'   [yang tinggi/diangkat]
b. Gharabatul Isti'mal [غرابة الاستعمال]
yaitu sebuah kata yang maknanya sama sekali tidak jelas dan sama sekali tidak digunakan oleh sebagian besar orang Arab yang fashih, sehingga sangat membingungkan orang yang mendengar. 
Adapun gharabah dibagi menjadi dua bagian, yaitu;
  • pembagian pertama: kata tersebut membingungkan pendengar dalam memahami makna yang dimaksud dikarenakan adanya multi makna atau kata tersebut mempunyai dua atau lebih makna yang berbeda yang mana juga tidak ada hubungannya dengan kalimat yang diucapkan.Contoh:
    kata مسرَّج pada sya'irnya Ru'bah bin 'Ajjaaj:

    ومُــقْــلـة وحــاجِــبــًا مُزَجّــجًــا                   وفــاحِــمًــا ومَــرْسِــنًــا مُــسَــرَّجًــا

    maka tidak dapat diketahui apa yang dimaksud dengan kata 'مُــسَــرَّجًــا' pada sya'ir di atas sampai-sampai para ahli bahasa pun berbeda pendapat dalam mengartikannya.
    Ibnu Duraid berpendapat: yang dimaksud dengan 'مُــسَــرَّجًــا' pada bait di atas adalah bahwa 'hidungnya ada di katulistiwa' dan bisa juga artinya adalah 'tebasan, seperti halnya tebasan pedang yang berkilau'
    adapun Ibnu Siidah berpendapat: bahwa kata tersebut maksudnya adalah 'ia dalam kilauan dan sinar seperti obor/penerang'.
    maka dari itu yang mendengarkan kata 'مُــسَــرَّجًــا' ini jadi bingung karena terdapat banyak makna yang lebih dari satu yang mana tidak nyambung dengan kalimat yang diucapkan. 
  • pembagian kedua: kata yang perlu diedit atau diteliti kesalahan penggunaannya karena memang perlu adanya penelitian bahasa yang khusus, dan memerlukan pengecekan pada kamus-kamus yang lengkap dan kredibel. Contoh:
    kata تَكَـأْكَأَ yang berarti berkumpul, yang diucapkan 'Isa bin Umar an nahwiy:

     مَا لَكُمْ تَكَـأْكَـأْتُمْ عَلَيَّ كَتَكَأكُئِكُمْ عَلَى ذِي جنَّة إفْرَنْقعُوا عَنِّي 

    kata di atas termasuk contoh gharabah karena penggunaannya yang sangat jarang dan juga sangat membingungkan bagi orang yang mendengar karena memang jarang digunakan oleh orang Arab, bahkan tidak digunakan oleh kebanyakan orang Arab yang fashih.

c. Mukhalafatul Qiyaas [مخالفة القياس]
yaitu suatu kata yang tidak mengikuti kaidah-kaidah penulisan kata yang benar sesuai ilmu sharaf yang diambil diucapan-ucapan orang-orang Arab, jadi kata tersebut sangat berlawanan atau bersebrangan dengan kaidah sharaf yang ada, contoh:

الـــحَــمْـــدُ لــلَّــهِ الــعَــلِــيِّ الأجْــلَــلِ        الـــوَاحِــدِ الــفَــرْدِ القَــدِيــمِ الأوَّلِ

kata الأجْــلَــلِ pada sya'ir di atas sangat tidak mengikuti kaidah penulisan ilmu sharaf, karena seharusnya kata tersebut huruf jim nya berharakat fathah dan dua huruf lam harus digabung/diidghomkan dengan tasydid menjadi 'الأَجَلُّ' 


2. Fashahatul Kalaam [فصاحة الكلام]
Fashahatul kalaam yaitu selamatnya sebuah ucapan setelah jelasnya susunan kata-kata yang ada pada ucapan tersebut, jelas dari sesuatu yang membingungkan makna dan kerancuan kata, maksudnya yaitu sebuah kalaam atau ucapan itu harus jelas, terang, dan mempunyai makna yang bisa dipahami langsung oleh pendengar dan lafadz-lafadznya juga mudah, maka dari itu sebuah kalimat atau ucapan harus tersusun dari lafadz-lafadz yang jelas dengan maksud yang mudah dimengerti, mengikuti aturan penulisan sharaf yang benar, susunan kata yang juga harus mengikuti kaidah-kaidah nahwu, dan juga harus sepi dari tanaafurul kalimaat [berat atau sulitnya kata saat diucapkan]. 

Dan kefashihan suatu kalam/ucapan harus terhindar dari beberapa poin di bawah ini:

a. Tanaafurul Kalimaah Mujtami'ah [تنافر الكلمات مجتمه]
yaitu susunan kata yang ada pada sebuah ucapan berat atau sulit diucapkan dan didengar (walaupun ada salah satu kata yang fashih/jelas/mudah dipahami, tapi karena susunan kata pada suatu ucapan hampir semuanya berat diucapkan lisan dan sulit dipahami pendengar maka tetap saja termasuk tanaafurul kalimaah mujtami'ah), adapun tanaafurul kalimaah ini ada dua macam, yaitu:
  • benar-benar berat pengucapannya, contoh:

    وَقَــبْـــرُ حَــرْب بِــمَــكَــان  قــفْـــر      وَلَـــيْــسَ قُــرْبَ قَــبْـــر حَـــرْبٍ قَـــبْـــرُ

    “Adapun kuburan Harb [Harb bin umayyah] itu di tempat yang sunyi dan tidak ada kuburan lain di dekat kuburan itu"
    jika kita baca susunan kata pada sya'ir di atas, sangat sulit dan berat saat diucapkan, dan juga sangat sulit dicerna oleh pendengar.
  • agak ringan pengucapannya, contoh perkataan Abii Tamaam:

    كَــرِيْـــمٌ مَــتَــى أمْــدَحْــهُ أمْــدَحْــهُ وَالــوَرَى      مَــعِـــي وَإذَا مَــا لُــمْــتُــهُ لُـــمْتُـــهُ وَحْـــدِي

    maksud sya'ir di atas yaitu "dia mulia jika aku sanjung/puji dan orang-orang juga menyetujuiku dengan sanjunganku kepadanya maka mereka pun ikut menyanjungnya bersamaku karena ia memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka seperti halnya ia memberiku kebaikan2"
    pada pembagian kedua ini, pengucapan pada susunan kalimatnya tidak sesulit atau seberat kalimat pertama, yaitu hanya ada dua susunan kata saja yang sulit diucapkan, lainnya mudah diucapkan.

b. Dho'fut Ta'liif [ضعف التأليف]
Sebuah ucapan juga harus mengikuti tata aturan kaidah-kaidah nahwu yang dipakai oleh sebagian besar para ulama nahwu. contoh :

سَاعَــدَ غُــلَامُــهُ  مُــحَــمَّدًا    "Pembantunya Muhammad membantu Muhammad"

susunan kalimat bahasa Arab di atas lemah, karena menyebutkan dhamirnya terlebih dahulu 'غُــلَامُــــهُ' dan meletakkan yang didhamiri (marji'nya) di akhir kalimat 'مُــحَــمَّدًا'.


c. Ta'qiidul Lafdzi [التّعقيد اللّفظي]
yaitu suatu ucapan yang kata perkatanya rancu, jadi susunan kalimatnya juga sama sekali tidak menunjukkan arti yang dimaksud sehingga menimbulkan kerancuan makna. Contoh;

جَفَخَتْ وَهُــمْ لَا يَــجْــفَــخُــوْنَ بِـــهَــا بِــهِــمْ       شِــيَــمٌ عَــلَى الــحــسب الـأغــر دَلائــلُ

susunan kalimat dan kata yang rancu di atas membuatnya tidak fashahatul kalaam, kalimat yang benar seharusnya adalah:

افـتخرت بِهم شِيَــمُ دلائــل عَــلى الحــسب الأغر وهــم لا يجْفـخون بِهــا


d. Ta'qiidul Ma'nawiy [التعقيد المعنوي]
yaitu ketika susunannya membuat makna yang dimaksud tidak jelas, karena adanya celah dalam pemindahan pikiran mutakallim dari makna asli kepada makna yang ia dimaksud. Contoh:

ســأَطْــلُــبُ بُــعْــدَ الــدارِِ عَــنْــكُــمْ لتَــقــرُبُــوا – وتــســكــبُ عــينــايَ الــدّمُــوعَ لتــجـمُدا

“Saya mencari suatu tempat yang jauh dari kalian, agar kalian kelak dekat dengan saya dan agar kedua mata saya meneteskan air mata, kemudian agar menajdi keras.”

Yang dimaksud kalimat di atas adalah, “saat ini saya lebih suka terpisah jauh dengan kalian untuk hanya sementara waktu, walaupun hingga meneteskan air mata karena perihatin.”
Untuk mengambil kesimpulan arti sya’ir di atas sangatlah sulit, sehingga sya'ir di atas termasuk kalimat yang تعقيد معنوي .

e. Kastrotut Tikraar [كثرة التكرار]
suatu ucapan agar menjadi fashahah juga harus menghindari kasratut tikraar, yaitu lafadz (baik itu isim, fi'il, maupun huruf) yang seharusnya diucapkan satu kali, tapi diucapkan berulang-ulang kali tanpa ada faidahnya, maka membuat tidak fashahatul kalaam. Contoh:

إنّــي وأســطــارٍ سُــطــرنَ سَــطْــرًا          لَــقَــائِــلٌ يَــا نــصــرُ نــصــرُ نَــصــرًا



3. Fashahatul Mutakallim [فصاحة المتكلّم]
yaitu sebuah keahlian yang harus dimiliki mutakallim (orang yang berkata) yaitu cara dia menyampaikan ucapan dengan tutur kata yang mudah dipahami, fashih, pemilihan kata (diksi) yang baik dan mudah dipahami, kata yang ia ucapkan harus sesuai dengan ilmu sharaf, susunan katanya juga rapih sesuai dengan tata kaidah nahwu, dan tidak ada kerancuan pada ucapannya sehingga pendengar segera paham dengan apa yang ia ucapkan. 



B. Balaghah [البلاغة]


Balaghah dalam arti bahasa artinya adalah 'Sampai' dan 'mencapai'. Contoh kalimatnya adalah:

بَــلَــغَ زَيْدٌ  مُــرَادَهُ      Zaid sudah mencapai tujuannya

بَــلَــغَ الــرَكْــبُ الــمَـدِيْــنَةَ   Para penunggang unta sudah sampai di kota 

maka sudah jelas, bahwa arti balaghah menurut 'bahasa' adalah 'mencapai' dan 'sampai'.

Adapun pengertian balaghah secara istilah yaitu balaghah merupakan sifat bagi ucapan dan mutakallim (orang yang mengucapkan) sehinga dapat dikatakan ucapan yang baligh (perkataannya tercapai/sampai dengan yang dimaksud) dan mutakallim yang baligh (tercapai/sampai yang dikatakan). Balaghoh juga dapat diartikan sebagai kesesuaian antara konteks ucapan dan situasi & kondisi lawan biacara yang disertai dengan penggunaan kalimat/bahasa yang fashih, jelas, dan mudah dipahami. Balaghah sendiri tidak dapat menjadi sifat untuk kalimat, dan perkara inilah yang membuatnya berbeda dengan fashahah.

 Balaghah mempunyai pembagian tersendiri, yaitu:
  1. Balaaghatul Kalaam [بلاغة الكلام]
  2. Balaaghatul Mutakallim [بلاغة المتكلّم]
Penjelasan:


1. Balaaghatul Kalaam [بلاغة الكلام]
yaitu ucapan yang baligh adalah ucapan yang sesuai dengan keadaan lawan bicara disertai dengan fashihnya lafadz-lafadz pada ucapan tersebut, baik itu per katanya maupun susunan kalimatnya.

Dari pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa ucapan yang baligh yaitu ucapan yang menyesuaikan situasi dan kondisi lawan bicara, serta lafadz-lafadz yang diucapkannya juga fashih atau jelas baik susunan kalimatnya maupun bentuk setiap katanya. Selain dari pada itu, yang menjadi perhatian yaitu bentuk tertentu yang gunakan dalam suatu kalam atau ucapan, contoh penggunaan kalimat yang panjang tetapi maksudnya sedikit (uslub ithnab) dalam pujian atau penggunaan kalimat yang ringkas dan padat (uslub ijaz) apabila lawan biacaranya adalah sesorang yang cerdas.

Contoh:
jika seseorabg mengucapkan  الصَّلاَةُ عَـلَى وَقْتــها  kepada mukhotob atau orang yang sedang diajak bicara yang bertanya mutakallim tentang waktu shalat. Maka ucapannya itu termasuk dalam kategori balaaghatul kalaam, karena ia ia ucapkan sesuai dengan maksud lawan bicara dan sesuai dengan keadaannya, ucapannya juga disampaikan dengan fashih dan jelas sehingga pendengar segera paham.


2. Balaaghatul Mutakallim [بلاغة المتكلّم]
Balaaghatul Mutakallim adalah keahlian dan kemampuan yang terdapat pada hati mutakallim yang dengan keahliannya tersebut seseorang bisa menyusun ucapan yang baligh dan sesuai dengan keadaan dan situasi lawan bicaranya serta fashihnya ucapan dalam segala makna yang dimaksudkannya.

Sesuai dengan penjelasan di atas, balaaghatul mutakallim merupakan keahlian sesorang dalam berucap dengan fashih dan jelas untuk mengutarakan apa yang ingin ia katakan dari hatinya sesuai dengan kondisi dan situasi lawan bicarannya.



C. Perbedaan Fashahah [الفصاحة] dan Balaghoh [البلاغة]

1. Fokus pembahasan fashahah [الفصاحة]  lebih khusus berkaitan dengan lafadz. Sedangkan balaghah  [البلاغة],  pembahasannya tidak hanya berkaitan dengan lafadz saja tapi juga berkaitan dengan makna.
2. Fashahah  [الفصاحة]  yaitu sifat dari sebuah kata, kalimat dan ucapan atau kalaam.
3. Semua ucapan atau kalimat yang bernilai balaghah [البلاغة] sudah pasti memenuhi unsur fashahah [الفصاحة], sebaliknya tidak semua ucapan atau kalimat yang bernilai fashahah itu memenuhi unsur balaghoh. jadi tingkat balaghah lebih tinggi dari fashahah.

Demikian adalah penjelasan rinci tentang fashahah dan balaghah. semoga dapat bermanfaat dan bisa menambah ilmu pengetahuan dan wawasan kita dalam berbahasa Arab. selamat belajar. :)






_________
Referensi: 

  • https://www.dusturuna.com/quran/28-34/
  • Kitab Jawahirul Balaaghah karangan As-Sayyid Ahmad Al-Hasyimi 
  • http://makalahcerdas11.blogspot.com/2017/12/a.html#:~:text=Secara%20terminologi%20(istilah)%20fashahah%20yaitu,%D8%A7%D9%84%D9%83%D9%84%D8%A7%D9%85%20dan%20%D8%A7%D9%84%D9%85%D8%AA%D9%83%D9%84%D9%85%20(pembicara).
  • http://mubtada10.blogspot.com/2012/03/pengertian-balaghah-dan-bidang_10.html


Balaghah, Ilmu Bahasa Arab untuk Mengkaji Keindahan Kitab Allah (القرآن)

Balaghah, Ilmu Bahasa Arab untuk Mengkaji Keindahan Kitab Allah (القرآن)

Al-Qur’an mempunyai  susunan kalimat yang sangat indah, tertib, penuh makna dan rapih. Untuk mengetahui  keindahan bahasanya, diperlukan  penguasaan bahasa Arab yang sangat mendalam, di antara  cabang ilmu yang mempelajari hal demikian   yaitu ilmu balaghah

Dalam sekian banyak   literatur   bahwa disiplin ilmu ini adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan yang menjadi alat guna  menguak kemukjizatan al-Qur`an. Posisinya dalam tatanan kumpulan  ilmu-ilmu Arab serupa   seperti posisi ruh dari jasad. Dengan kata lain, ilmu balaghoh adalah media yang bisa  menghantarkan seseorang mengetahui  ke-i’jaz-an dan keindahan al-Qur`an.

Seseorang yang hendak  menjadi mufassir, mutlak menguasai ilmu ini supaya  bisa mengetahui  isi dan pesan-pesan yang tersirat maupun tersurat dalam al-Qur`an. Dalam urusan  ini al-Zamakhsyari menuliskan   bahwa ilmu yang sangat  sarat dengan rahasia yang rumit, sangat  padat isinya sehingga menciptakan  manusia kendala  memahaminya, tergolong  orang alim sekalipun, yakni  ilmu tafsir. Dan, tidak akan dapat  mendalami esensi  ilmu ini kecuali mempunyai  kompetensi dan kredibilitas dalam dua spesifik ilmu yakni  ilmu ma’ani dan bayan. Kedua ilmu ini dipelajari dalam ilmu balaghah.

Secara ilmiah, ilmu balaghah adalah suatu disiplin ilmu yang menunjukkan  pembelajaran guna  dapat mengungkapkan gagasan, pikiran, dan perasaan seseorang menurut  pada kejernihan dan kecermatan  dalam menciduk  keindahan bahasa. Juga dapat  menjelaskan perbedaan yang ada salah satu  macam-macam uslub (ungkapan). Dengan menguasai konsep-konsep balaghah akan memahami  rahasia-rahasia bahasa Arab dan seluk beluknya. Juga akan dapat  membuka rahasia-rahasia kemu’jizatan al-Qur`an dan al-Hadits.

Al-Balaghah dipecah  menjadi sejumlah  kelompok. Pertama, ilmu ma’ani, yang mempelajari rangkaian  bahasa dari segi  penunjukkan artinya  dan mempelajari teknik  menyusun kalimat supaya  sesuai dengan muqtadhaa al-haal. Kedua, ilmu bayan, yang mempelajari cara-cara penggambaran imajinatif. Ketiga, ilmu badi’, yang mempelajari karakter lafazh dari segi  kesesuaian bunyi atau kecocokan  makna.

Perkembangan Ilmu Balaghah

Pada dasarnya ilmu yang berhubungan  ketepatan dan keindahan berbahasa ini sudah  menjadi pengetahuan yang menghiasi sekian banyak   perkataan orang Arab, baik dalam puisi maupun prosa, jauh sebelum al-Qur’an turun. Namun, kehadiran al-Qur’an sudah  menjadi salah satu hal  munculnya ilmu balagha. Keindahan bahasa al-Qur’an menciptakan  pakar bahasa waktu tersebut  kagum. Al-Qur’an dinyatakan  sebagai buku  yang mempunyai  ketepatan dan keindahan berbahasa Arab yang tak tertandingi.

Pada pertumbuhan  selanjutnya, semakin luasnya difusi  orang Arab dengan non-Arab ternyata perlu  ilmu bahasa yang bermanfaat  mengukur ketepatan dan keindahan berbahasa Arab. Orang-orang non-Arab tidak dapat memahami  keindahan bahasa Arab tanpa mempelajari kaidah bahasa yang benar yang berlaku di bangsa Arab.

Tema-tema ilmu balaghah sendiri hadir  setelah ilmu nahwu dan sharaf berkembang pesat di zaman Khalifah Umayyah. Ketika tersebut  para ulama pakar sastra mulai bicara mengenai  makna fashahah dan balaghah dan berjuang  menjelaskannya dengan misal  dan bukti-bukti yang diriwayatkan dari orang-orang sebelum mereka.

Namun ilmu ini mulai dikenal luas ketika  dinasti Abbasiyah. Pada ketika  itu, terjadi polemik  yang sengit di kalangan semua  sastrawan dan para berpengalaman  bahasa dalam mengungkap mukjizat al-Qur`an. Ketegangan ini dimunculkan  oleh di antara  pendapat Ibrahim al-Nidzam yang menuliskan   bahwa al-Qur’an tidak mempunyai  kekuatan mukjizat berupa kefasihan dan kebalighannya. Bahkan, seluruh  orang Arab pasti dapat  membuat kalimat yang nilainya sama dengan bahasa yang dipakai  al-Qur`an. Pendapat ini mengundang reaksi keras semua  pakar sastra dan ulama masa-masa  itu. Mereka lantas  menulis suatu  risalah yang isinya menampik  semua argumen Ibrahim al-Nidzam, dan mengungkap kebobrokan aliran yang dianut olehnya.

Kitab yang kesatu  kali dibentuk  dalam bidang balaghah yaitu buku  Majazul Qur’an karangan Abu ‘Ubaidah Ma’mar bin Al-Mutsanna (wafat 208 H), siswa  Al-Khalili (wafat 170 H). Kitab ini mengandung  ilmu bayan. Sedangkan ilmu ma’ani, tidak diketahui tentu  orang yang kesatu  kali menyusunnya. Namun, ilmu ini paling  kental dalam pembicaraan semua  ulama, khususnya  al-Jahidz (wafat 225 H) dalam I’jazul Qur’an. Adapun penyusun buku  ilmu badi’ pada masa awal ialah  Abdullah Ibn al-Mu’taz (wafat 296 H) dan Qudamah bin Ja’far dengan Naqd asy-Syi’r dan Naqd an-Natsr (wafat 337 H).

Baru pada abad kelima hijriyah hadir  seorang ulama yang menggabungkan ilmu-ilmu tersebut mempunyai  nama  Abu Bakar Abdul Qahir al-Jurjani (wafat 471 H). Al-Jurjani mengarang buku  tentang ilmu ma’ani dengan judul Dalailul I’jaz, dan mengenai  ilmu bayan dengan judul Asrorul Balaghah. Kemudian setelah tersebut  datanglah Abu Ya’qub Sirajuddin Yusuf as-Sakakiy al-Khawarizmi (wafat 626 H) dengan kitabnya yang membicarakan  tentang ilmu balaghah lebih menyeluruh  daripada lainnya, yaitu buku  dengan judul Miftah al-‘Ulum.

Pada masa itu  ilmu balaghah berkembang pesat sebab  adanya persinggungan dengan ilmu kalam dan filsafat berhubungan  dengan i’jazul Qur’an. Persinggungan ini menimbulkan  istilah Madrasah Adabiyyah dan Madrasah Kalamiyyah berdasar kecenderungan yang dipilih dalam mengerjakan  pembahasan balaghah.


Tiap-tiap madrasah ini memiliki karakteristik  tersendiri. Para pakar Madrasah Kalamiyyah memusatkan  pembahasan balaghahdengan menciptakan  batasan-batasan lafdzi dan spirit perdebatan. Kemudian konsentrasi  dengan membuat sekian banyak   macam definisi-definisi dan kaidah-kaidah tanpa tidak sedikit  menunjukkan contoh-contoh bukti sastrawi baik puisi maupun prosa. Bagi  menilai  tepat dan estetis  atau tidaknya bahasa, mereka tidak sedikit  berpegang pada analogi filsafat dan kaidah-kaidah logika.

Sedangkan Madrasah Adabiyyah, paling  berlebihan dalam mengemukakan  bukti-bukti (contoh-contoh) sastrawi baik puisi maupun prosa, dan tidak banyak  sekali menyimak  tentang pengertian  dan lain-lainnya. Bagi  menilai  tepat dan estetis  atau tidaknya bahasa mereka lebih tidak sedikit  berpegang pada rasa seni, keindahan daripada untuk  filsafat ataupun logika.