Contact Us - Privacy Policy - Disclaimer - Terms of Service - About

Pengertian Inna wa Akhwatuha (إنّ و أخواتها) dalam Ilmu Nahwu

Pengertian Inna wa Akhwatuha (إنّ و أخواتها) dalam Ilmu Nahwu

A. Pengertian
Inna wa akhwatuha (Inna dan saudara-saudaranya) ialah  sekelompok huruf (kata depan) yang biasanya berada sebelum  isim. Jika sebuah  jumlah ismiyah (kalimat yang tersusun dari mubtada’ dan khabar) didahului oleh Inna atau saudara-saudaranya, maka akan mengakibatkan  mubtada’ menjadi manshub dan dinamakan  isim Inna, dan khabar tetap marfu dan dinamakan  khabar Inna. Seperti:
Kalimat pertama
§  ٌاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيْم
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui
Lafad اللَّهُ menjadi Mubtada' [dibaca rofa'], sedangkan lafad سَمِيعٌ menjadi khobarnya [dibaca rofa']

Kalimat kedua kemasukan إِنَّ
§ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيْم
bahwasannya  Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui
Lafad اللَّهَ berubah menjadi isim إِنَّ dan dibaca Nashob dengan fathah, sedangkan Kata سَمِيعٌ tetap dibaca rofa' dengan tanda dhommah karena sebagai khabar Inna.


B. Fungsi Inna wa Akhwatuha (إِنَّ وَ أَخْوَتُهاَ)
Inna wa wakhwatuha mempunyai  fungsi:
تَنْصِبُ الْاِسْمَ وَتَرْفَــعُ الْــــخَبَر

Menasabkan isim inna dan merofa’kan khabar inna.
contoh jelasnya sama seperti pada poin A:

Kalimat yang kemasukan إِنَّ
§ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيْم
bahwasannya  Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui
Lafad اللَّهَ berubah menjadi isim إِنَّ dan dibaca Nashob dengan fathah, sedangkan Kata سَمِيعٌ tetap dibaca rofa' dengan tanda dhommah karena sebagai khabar Inna.


C. Yang Termasuk ke Dalam Inna wa Akhwatuha (إِنَّ وَ أَخْوَتُهاَ)

إِنَّ وَ أَخوَتُهاَ : إِنَّ, أَنَّ, كَأَنَّ, لَكِنَّ, لَيتَ, لَعَلَّ

Inna dan saudara-saudaranya yakni  : Inna, Anna, Kaanna, Lakinna, Laita, La’alla.

Dan arti  إِنَّ dan أَنَّ guna  taukid (mengukuhkan/penguat kata) dan كَأَنَّ guna  tasybih (menyerupai) dan لَكِنَّ guna  istidrak (susulan), yakni  menyusul ucapan  yang kemudian  dengan ucapan  yang terdapat  di belakangnya, dan لَيتَ guna  tamanni, yaitu menginginkan  sesuatu yang tak dapat  berhasil, dan لَعَلَّ guna  taraji dan tawaqqu’, merupakan   mengharapkan sesuatu yang baik, yang barangkali  berhasil.

1. إنَّ
Inna dengan kata lain  : Sesungguhnya
Fungsinya : Bagi  penegasan huruf   atau mengokohkan pembicaraan
إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيءٍ قَدِيرٌ
Artinya : Sesungguhnya Allah atas masing-masing  sesuatu Maha Kuasa
Kata qodir marfu’ dengan dhommah, dan kata Allah mansub dengan fathah

2. أَنَّ
Anna dengan kata lain  : bahwa
Fungsinya : Bagi  penegasan huruf   atau mengokohkan pembicaraan
لاَبُدَّأَنَّهُم يُرِيدُونَ مِنهُ دَلِيللاً
Artinya: Sesungguhnya mereka tentu  menghendaki alasan  dari padanya.
أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ الله
Artinya: Aku menyatakan  bahwa Muhammad ialah  utusan Allah.

3. كَأَنَّ
Kaanna dengan kata lain  : seakan-akan
Fungsinya : penyerumpamaan
Contoh :
كَأَنَّكَ نَاءِلٌ مَرَامَكَ
Artinya : agaknya engkau sukses  mencapai maksudmu
كَأَنَّ وَجْهَكَ بَدرٌ
Artinya : seolah-olah  wajahmu tersebut  bulan purnama.

4. لَكِنَّ
Lakinna dengan kata lain  : bakal  tetapi
Fungsinya : menyangkal
Contoh :
هُوَ عَالِمٌ لَكِنَّهُ غَيرُعَامِلٍ
Artinya : dia pandai namun  tidak melaksanakan  ilmunya.

5. لَعَلَّ
Laalla artinya: semoga/agar
Fungsinya : pengharapan
Contoh :
لَعَلَّ عَلِيٌّ مَرِيضٌ
Artinya : Semoga Ali sakit.

6. لَيْتَ
Laita dengan kata lain  : seandainya
Fungsinya : berangan-angan
Contoh :
لَيْتَ الشَّباَّ يَعُودُ يَوماً
Artinya : sekiranya  masa muda itu dapat  kembali.


D. Qowaid
1. Tempat-Tempat Hamzah Inna Dibaca Fathah dan Dibaca Kasroh

  • Fathah

Apabila inna bila   ditakwil sebagai masdar maka hamzahnya me sti di fathah,
contoh:
يُعْجِبُنِي أَنَّ زَيْدًا قَائِمٌ
تأويلانيا (أي يُعْجِبُنِي قِيَامُ زَيْدٍ)


  • Kasroh

1. Jatuh di mula  al-kalam (إِذَا وَقَعَتْ أَوَّلُ الْكَلاَمِ ), misalnya
إِنَّ زَيْدًا قَائِمٌ .
2. Jatuh dalam awalan shilah ( وَقَعَتْ صَدْرُ الصِّلَةِ ), misalnya
جَاءَ الَّذِي إِنَّهُ قَائِمٌ
3. Sebagai jawaban sumpah, contohnya  وَاللهِ إِنَّ زَيْدًا قَائِمٌ
4. Sebagai hikayat sebuah  ungkapan, contohnya  قَالَ زَيْدًا إِنَّ عَمْرًا قَائِمٌ
5. Menempati tarkib haal, contohnya  زُرْتُ زَيْدًا وَإِنِّي ذُوْ أَمَلٍ
6. Jatuh sesudah  af’al al-Qulub yang sudah  tetangguhkan amalannya oleh اللاّم , contohnya  عَلِمْتُ إِنَّ زَيْدٌ اْلعَالِمُ .
7. Setelah أَلاَ اْلاِسْتِفْتَاحِيَّةِ , contohnya  أَلاَ إِنَّ زَيْدًا قَائِمٌ .
8. Setelah حَيْثُ , contohnya  اِجْلِسْ حَيْثُ إِنَّ زَيْدًا جَالِسٌ .
9. Bila jumlah inna menjadi sifat, contohnya  مَرَرْتُ بِرَجُلٍ إِنَّهُ فَاضِلٌ .
10. Bila jumlah inna menjadi khobar dan isim dzat, contohnya  زَيْدٌ إِنَّهُ قَارِئٌ


  • Kasroh/ fathah

1. Ia berposisi sesudah  إِذَا اْلفُجَائِيَّة (tiba-tiba atau mendadak), misalnya: خَرَجْتُ فَإِذًا إِنَّ زَيْدًا قَائِمٌ .
2. Setelah fi’il sumpah, dimana pada khabarnya إِنَّ tidak ada  اللاّم , laksana  حَلَفْتُ إِنَّ زَيْدًا قَائِمٌ .
3. Setelah فاء الجزاء / فاء الجواب , laksana  مَنْ يَأْتِنِي فَإِنَّهُ مُكْرَمٌ .
4. Setelah mubtada’ dengan arti  ucapan, sementara  khabarnya إِنَّ pun  berarti ucapan sedangkan  subjeknya tunggal. Seperti
خَيْرُ اْلقَوْلِ إِنِّي أَحْمَدُ .


2. Inna dan Saudaranya yang Dibatalkan Pengamalannya
Inna dan saudarnya bila   diberi maa (مَا) zaidah itu dapat  batal amalnya.
Contoh: إِنَّمَا زَيْدٌ عَالِمٌ
Tetapi terkadang terdapat  yang tetap amal.
Contoh: لَيْتَمَا زَيْدًا قَائِمٌ
Adapun laita ( لَيْتَ ) , meskipun ditembus  maa (مَا ), maka ia tetap beramal menashabkan mubtada’ dan merafa’kan khabar atau boleh tidak beramal.
Contoh: لَيْتَمَا زَيْدًا قَائِمٌ .
Kata زَيْدًا dibaca nashab menjadi isimnya لَيْتَمَا , dan قَائِمٌ menjadi kata لَيْتَمَا dalam misal  ini masih tetap beramal. Boleh jugaلَيْتَمَا tidak beramal, dan kata زَيْدًا dibaca rafa’, sampai-sampai  susunannya menjadi
لَيْتَمَا زَيْدٌ قَائِمٌ


3. Hukum Inna dan Saudara-saudaranya yang Ditakhfif (Nun-Nya Disukun)

  • إِنَّ

Inna (إِنَّ ) hukumnya bila   ditakhfif (nunnya disukun) tersebut  boleh amal boleh tidak serta bilamana  tidak beramal maka me sti  memberi lam fariqoh (لام فارقة ) pada lafadz yang sesudahnya.
Contoh: إِنْ زَيْدٌ لَقَائِمٌ .
Dan lebih tidak sedikit  muhmal-nya ( tidak amal ) dari pada amalnya.
Huruf “إِنْ “ di atas berasal dari “إِنَّ “ yang ditakhfif, ia bukan lagi  beramal menashabkan mubtada’. Karena itu, kata sesudahnya tetap dibaca rafa’.

  • أَنَّ

Anna ( أَنَّ) hukumnya bila   ditakhfif (nunnya disukun) dan lantas  isimnya tentu  berupa dhomir sya’an (ضمير شأن ) yang ditabung  dan khabarnya tentu  berupa jumlah.
Contoh: عَلِمْتُ زَيْدٌ قَائِمٌ .
Dan bila   ada yang isimnya bukan dlomir sya’an (ضمير شأن) maka hukumnya langka. Contoh: فَلَوْ أَنَّكَ فِي يَوْمِ الرَّخَاءِ سَأَلْتَنِي .


  • كَأَنَّ dan لَكِنَّ

Kaanna (كَأَنَّ ) juga dapat  ditakhfif dan yang kaprah isimnya berupa dlomir sya’an (ضمير شأن ) yang disimpan. Contoh: كَأَنْ شَدْيَانُ خُقَانِ .
Tetapi ada pun  yang diputuskan  walaupun sedikit. Contoh: كَأَنْ زَيْدًا أَسَدٌ
Kata ka’an (كَأَنْ ) ialah  dari kata (كَأَنَّ ), yang nunnya ditakhfif dan ia masih tetap beramal. Adapun lakinna (لَكِنَّ ) bilamana  nunnya ditakhfif maka tidak dapat  beramal.

Demikianlah beberapa penjelasan singkat tentang inna wa akhwatuha, semoga dapat bermanfaat dan menambah ilmu pengetahuan kita tentang Nahwu amiin. Selamat belajar. :)

Pengertian Nakirah dan Marifah (النكرة والمعرفة) dalam Ilmu Nahwu

Pengertian Nakirah dan Marifah (النكرة والمعرفة) dalam Ilmu Nahwu

Sebelum melangkah lebih jauh membahas nakiroh dan ma'rifah, temen-temen  harus memahami  terlebih dahulu bahwa isim (kata benda) itu dibagi  menjadi dua, yaitu: umum dan khusus, yang dalam bahasa Arab dinamakan  juga dengan isim nakirah (umum) dan makrifah (khusus).

1. Nakirah
Isim nakirah ialah  isim yang masih umum atau global, kata benda yang mana, yang seperti apa, terdapat dimana, kepunyaan  siapa, dan lain sebagainya,sehingga tidak bisa mengindikasikan  benda tersebut, sebab  maknanya umum.

2. Makrifah
Isim makrifah ialah  kata benda yang berarti khusus dan memiliki  kandungan arti  tertentu sehingga membuat  mutakallim (orang yang berbicara)  dan pendengar sudah memahami  apa yang dimaksud.

A. Ciri-ciri Nakiroh dan Ma'rifah
Berikut ini adalah beberapa poin yang harus kita ketahui tentang ciri-ciri nakiroh dan ma'rifah di bawah ini :
1. Nakirah

  • Isimnya bertanwin ( ً ٍ ٌ )
  • Biasanya tidak ditandai dengan huruf   Alif-Lam ( ال )
  • Menunjukan kata umum, bukan nama orang tertentu.

Contohnya :
ذَلِكَ بَيْتٌ
Itu adalah sebuah rumah
[Kata بَيْتٌ merupakan isim nakiroh, karena terlihat jelas ciri-cirinya terdapat tanwin di akhir huruf, tidak terdapat alif-lam, maka menunjukan sesuatu yang umum]

2. Ma'rifah

  • Dibubuhi dengan huruf   Alif-Lam ( ال ) di awalnyaContohnya :
    الوَلَدُ صَالِحٌ
    Anak itu adalah anak sholeh
    [kata  الوَلَدُ termasuk isim Ma'rifah, karena terdapat huruf alif-lam di awalnya]
  • Jika dalam suasana  idhafahIdhafah ialah  dua isim yang digabung menjadi satu, sehingga menimbulkan makna  yang baru, isim pertama menjadi mudhof dan isim kedua menjadi mudhof ilaih, contoh kata:
    كِتَابُ زَيْدٍ > Kitab milik Zaid kedua kata di atas sebenarnya dua kata yang berbeda, tapi setelah digabungkan dan mengikuti aturan main idhofah, maka keduanya menjadi ma'rifah atau kata khusus 'kitab milik zaid' > sudah dapat diketahui bersama bahwa kitab tersebut adalah milik Zaid.
  • Jika kata yang di-idhafat-kan untuk  kata tunjuk (isim isyarah)Contohnya :
    فَلْيَعْبُدُوا رَبَّ هَٰذَا الْبَيْتِMaka hendaklah mereka menyembah tuhan empunya  rumah ini (Ka’bah)[isim isyaroh هَٰذَا beridhofah dengan kata الْبَيْتِ , maka otomatis kata هَٰذَا الْبَيْتِ sudah menjadi ma'rifah, walaupun sebenarnya kata الْبَيْتِ saja itu sudah ma'rifah karena ia mempunyai alif-lam.
  • Jika kata ganti (isim dhamir)
    Contohnya :
    أنَا كاتب الدرس
    Saya adalah orang yang mencatat  pelajaranSemua isim dhamir baik adalah termasuk ma'rifah, macam-macam isim dhamir bisa diliat pada link di bawah ini:

     Pengertian Isim Dhomir dan Pembagiannya dalam Ilmu Nahwu
  • Jika kata sambung (isim mausul)الذين يرثون الفردوس
    Yang bakal  mewarisi surge firdaus


Baca Juga: Pengertian, Pembagian, dan Contoh-contoh Isim Maushul (اسم الموصول) dalam Ilmu Nahwu


  • Jika kata tunjuk (isim isyarah)Contohnya :
    هَٰذَا كتاب
    ini adalah suatu  buku


Baca Juga:  Pengertian Isim Isyarah (الإسْمُ الإشَارَةِ) dalam Imu Nahwu


  • Jika isim alam (nama orang)Isim alam ialah  kata yang mengindikasikan  suatu nama orang atau diri, gelar, lokasi  atau nama semacam gelar
    Contohnya :
    قَالَ زَيْدٌ لِأبِيْهِ
    Zaid berkata pada ayahnya



B. Sebab-sebab Penggunaan Nakirah dan Makrifat

1. Nakirah

  • Menginginkan arti  tunggal, seperti:نَظَرْتُ إِلَى رَجُلٍ يَقُوْمُ أمَامِي
    Saya melihat seorang laki-laki yang sedang berdiri di depan sayaMaksudnya ialah  satu orang laki-laki.
  • Menginginkan jenisnya, seperti:وَعَلَى أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌDan pada penglihatan-penglihatan mereka tersebut  ada penutup.Maksudnya ialah  semacam penutup yang asing yang tidak dikenal oleh para insan  dengan teknik  menutup terhadap sesuatu yang tidak bisa  ditutupi oleh penutup-penutup yang lain.
  • Ta’dzim (pengagungan), dalam definisi  bahwa dia ialah  lebih agung daripada bila  diterangkan  atau disebutkan, laksana  :فَأْذَنُوْا بِحَرْبٍMaka umumkanlah perangMaksudnya ialah  dengan pertempuran  apa saja.
  • Taktsir (memperbanyak), seperti:أَئِنَّا لَنَا لأَجْرًاApakah kami bakal  mendapatkan ganjaran).Maksudnya ialah  yang sempurna yang banyak.
  • Tahqir (meremehkan) maksudnya ialah  terperosoknya nilainya sampai untuk  suatu suasana  dimana dia tidak pantas  untuk dijelaskan. Seperti :إِنْ نَظُنُّ إِلاَّ ظَنَّاKamu tidak beda  hanyalah berprasangka dengan sebuah  prasangkaMaksudnya ialah  prasangka hina yang tidak bisa  dijadikan sebagai pedoman. Jika tidak demikian, maka mereka tentu  mengikutinya, sebab  itulah kelaziman  mereka.
  • Taqlil (menyedikitkan), laksana  :وَ رِضْوَانٌ مِنَ اللهِ أَكْبَرُ
    dan keridlaan dari Allah ialah  lebih besar.Maksudnya ialah  keridlaan yang tidak banyak  dari-Nya ialah  lebih besar daripada surga-surga. Karena keridlaan-Nya ialah  pincak masing-masing  kebahagiaan. Sedikit dari-Mu Cukup untukku, namun  Sedikit-Mu Tiada dapat  dikatakan sedikit.



2. Ma'rifah

  • Dengan teknik  menuliskan  isim ‘alam (nama), supaya  semula diketahui oleh pendengarnya dengan teknik  menuliskan  suatu  nama yang eksklusif  baginya, laksana  :قُلْ هُوَ اللهُ أَحَد
    Katakanlah: “Dialah Allah yang satu
  • untuk menghormati  atau menghinakan, andai  penyebutannya secara jelas mewajibkan  hal itu. Contoh dari pemuliaan ialah  penyebutan Ya’qub dengan gelarnya, Isra’il, sebab  nama tersebut  dari Allah. Mengenai gelar ini terdapat  dalam ulasan  khusus dalam Ilmu Tafsir (Ulumul Quran)
    Dan misal  penghinaan ialah  :
    تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍCelakalah Abu LahabDan pada nama ini ada suatu  rahasia lain, yakni  sindiran bahwa dia tergolong  penghuni Neraka Jahanam.
  • Dengan menunjukkannya (isyarah) guna  membedakannya dengan pembedaan yang lebih sempurna serta menghadirkannya di dalam pikiran  pendengar secara kasat mata, seperti:هَذَا خَلْقُ اللهِ فَأَرُوْنِى مَاذَا خَلَقَ الَّذِيْنَ مِنْ دُوْنِهِ
    Ini ialah  ciptaan Allah, maka perlihatkanlah kepadaku apa yang dapat dibuat  oleh yang selain-Nya.
  • Bagi  pemaparan sebab  ketidaktahuan pendengar, bahkan dia tidak dapat  mengetahuinya kecuali dengan isyarat indrawi. Dan ayat ini sesuai  untuk misal  ini. Dan untuk menyatakan  sejauhmana kedekatan dan kejauhannya. Maka dipakai  isim isyarah.
  • Bermaksud guna  menghinakannya dengan memakai  kata penunjuk dekat, seperti ucapan  kaum kuffar :أَهَذَا الَّذِى يَذْكُرُ ءَالِهَتَكُمْ
    mereka berkata: “Apakah ini orang yang mencaci  tuhan-tuhanmu.
  • Bagi  maksud mengagungkannya dengan memakai  kata penunjuk jauh, laksana  :ذَالِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ فِيْهِ
    Kitab tersebut  tiada keraguan di dalamnya
  • Bagi  lebih menyerahkan  perhatian kepadanya dengan memakai  kata penunjuk sesudah  sebelumnya dilafalkan  sifat-sifat yang mengindikasikan  bahwa urusan  tersebut  memang pantas  untuk mendapat imbalan dari apa yang dilafalkan  setelahnya, seperti:أُولَئِكَ عَلَى هُدًا مِنْ رَّبِّهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
    Mereka itulah orang-orang yang mendapatkan tuntunan  dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang berbahagia.
  • Atau dengan memakai  isim maushul sebab  keengganan untuk melafalkan  nama spesialnya, yang mungkin diakibatkan  untuk menutupinya, menghinanya atau untuk destinasi  lain. Seperti:وَالَّذِى قَالَ لِوَالِدَيْهِ أُفٍّ
    Dan orang yang berbicara  kepada kedua orang tuanya: “ah [ekspresi menolak/tidak suka]”.
  • Dan ma’rifah dengan idhafah sebab  keadaannya, yang adalah jalan sangat  ringkas atau untuk memuliakan  mudlaf, seperti:
    إِنَّ عِبَادِيْ لَيْسَ لَكَ عَلَيْهِمْ سُلْطَانٌ
    Sesungguhnya hamba-hamba-Ku, anda  tidak memiliki keterampilan  terhadap mereka.
  • Atau guna  maksud yang umum, seperti:
    فَلْيَحْذَرِ الَّذِيْنَ يُخَالِفُوْنَ عَنْ أَمْرِهِ
    Maka hendaklah orang-orang yang melanggar perintah-Nya tersebut  menjadi takut.
    Maksudnya ialah  semua perintah-perintah Allah.

Demikianlah beberapa penjelasan tentang Nakiroh dan Ma'rifah, semoga dapat menambah pengetahuan kita tentang Nahwu dan bahasa Arab ya, selamat Belajar. :)

Pengertian Mustatsna (المستثنى) dalam Ilmu Nahwu

Pengertian Mustatsna' (المستثنى) dalam Ilmu Nahwu

Pengertian Mustatsna’ (مستثنى )
Mustatsna’ (مستثنى ) yakni  isim manshub (yang dibaca nashob) yang terletak setelah  huruf istitsna’ untuk menyatakan  hukum yang bertolak belakang  dengan sebelumnya, bahasa gampangnya, mustatsna' ialah bab yang menerangkan kata yang yang 'dikecualikan' yang jatuh setelah huruf istitsna'. Adapun Isim yang terletak sebelum huruf   istisna’ dinamakan  mustatsna’ minhu (مستثنى منه ).
Contoh:
جاءَ الطُّلَّابُ إلاّ زَيْدًا
[ الطُّلَّابُ : مستثنى منه ،  زَيْدًا : مستثنى ].
Kata “ إلاّ “ ialah  salah satu huruf   istitsna’. Kata sebelumnya yakni  “الطُّلَّابُ “ dinamakan  mustatsna’ minhu (مستثنى منه), dan kata setelahnya “ زَيْدًا “ dinamakan  dengan mustatsna’ (مستثنى).

Pembagian Mustatsna’ (مستثنى )
Mustatsna’ terbagi menjadi dua, yaitu;
a. Muttashil ( متصل )
Yaitu mustatsna yang sebenarnya adalah  bagian dari kelompok mustatsna’ minhu.
Contoh:
جاءَ المُدَّرِسُوْنَ إِلَّا مَحْمُوْدًا : para  guru sudah  datang kecuali Mahmud.
Jika kita lihat, mustatsna di atas adalah kata مَحْمُوْدًا (Mahmud), dan ia adalah bagian dari mustatsna' minhu nya yaitu المُدَّرِسُوْنَ (para guru), atau menunjukan bahwa sebenarnya Mahmud juga seorang guru hanya saja ia tidak datang.
Mustatsna’ muttashil ini bermanfaat  sebagai takhshis (pengkhususan) sesudah  ta’mim (kata umum)

b. Munqathi’ ( منقطع )
Yaitu muststsna’ yang bukan bagian dari jenis  mustatsna’ minhu. atau kebalikan dari mustatsna Muttashil di atas.
Contoh:
احْتَرَقَتْ المَدْرَسَةُ إلاّ الكتُبَ : Sekolah tersebut  terbakar kecuali sejumlah  buku .
Mustatsna' di atas adalah kata 'الكتُبَ', dan mustatsna' minhunya adalah 'المَدْرَسَةُ', antara keduanya kata ini adalah hal yang berbeda, maka dinamakan juga mustatsna' munqati'.
Mustatsna’ munqati’ berfaedah untuk istidra’ (kebalikan/pengecualian) bukan takhsis (pengkhususan).

Huruf-huruf   Istitsna’
Istitsna’ mempunyai  8 huruf, yaitu:
إلاّ و غيرٌ و سِوًى و خَلا و عَدا و حَاشَا و ليسَ و لا يكونُ .

Hukum Pembacaan Istitsna'
Penggunaan huruf-huruf  tersebut diatas dipecah  menjadi empat, yaitu:
1. Mustatsna' bi illa al-muttashil
( المُسْتَثْنَى بِإلاَّ المُتَّصِل)
Mustatsna’ jenis ini memiliki  tiga keadaan:
  • Wajib dibaca Nashab
    Yaitu bilamana  kalimatnya tam lagi mujab (kalimat sempurna dan positif/tidak ada kata negatifnya), mustatsna’nya dilafalkan  baik letaknya sebelum atau juga  sesudah mustasna’. Contoh:
    المثال الأول : ينجحُ الطُلَّابُ إلاَّ الكَسُوْلَ
    المثال الثاني : ينجحُ إلاّ الكسولَ الطُلَّابُ
  • Jawaz Nashab dan Badaliyah (boleh dibaca Nashob, boleh juga dibaca rofa' karena menjadi badal)
    Yaitu bilamana  kalamnya tam manfiy (berupa kalimat sempurna tapi terdapat kata negatifnya 'tidak') atau syibh manfiy (menyerupai kalimat yang mengandung kata negatif 'tidak'), dilafalkan  mustasna’ minhunya.
    > Contoh tam manfiy (kalimat sempurna dengan kata negatif 'tidak'):
    - Boleh dibaca Nashob menjadi mustatsna':
    ما جاء الطُلاَّبُ إلا زَيْدًا
    [زَيْدًا : مستثنى، منصوب وعلامة نصبه فتحة ظاهرة في آخره لأنه اسم المفرد]
    Sekumpulan siswa tidak datang, kecuali Zaid[Zaid: menjadi Mustatsna' dan dibaca nashob, tanda nashobnya adalah fathah yang nampak diakhirnya, karena termasuk isim mufrod]
    - Boleh juga tetap dibaca Nashob tapi kedudukan sebagai Badalnya mustatsna minhu:ما رَأيْتُ الطُلاَّبَ إلا زَيْدًا
    [زَيْدًا : بدل منصوب]
    Saya tidak melihat para siswa, kecuali Zaid[Zaid: menjadi badal dari الطُلاَّبَ dan dibaca nashob]

    Boleh dibaca Rofa' karena menjadi Badal:
    ما جاء الطُلاَّبُ إلا زَيْدٌ[زَيْدٌ : بدل ل " الطُلاَّبُ " مرفوع]
    Sekumpulan siswa tidak datang, kecuali Zaid[Zaid: menjadi Badal untuk kata 'الطُلاَّبُ', dan ia dibaca Rofa']

    Baca Juga: Pengertian Lengkap Tentang Badal 'البدل' dalam Ilmu Nahwu


  • Kalam Naqis (Hukum saat kalimatnya tidak sempurna, maka pembacaan mustatsna'nya sesuai dengan jabatannya dalam kalimat.
    Yaitu bilamana  kalamnya manfiy atau syibh manfiy, dan mustasna’nya tidak disebutkan.
    Contoh:
    > Dibaca Rofa' karena menjadi fa'il:ما جاءَ إلا زَيْدٌ   
    [زَيْدٌ : فاعل مرفوع]
    Hanya Zaid yang datang
    [Zaid: menjadi Fa'il dan dibaca rofa', tanda rofa'nya dommah]

    > Dibaca Nashob karena menjadi Maf'ul bih:ما رأيتُ إلا سَمَكًا
    [   سَمَكًا : مفعول به منصوب وعلامة نصبه فتحة ظاهرة في آخره لأنه اسم المفرد ]
    Saya hanya melihat Ikan[Ikan: menjadi maf'ul bih, dan dibaca nashob  tanda nashobnya adalah fathah yang nampak diakhirnya, karena termasuk isim mufrod]

    > Dibaca Jar karena kemasukan huruf Jar:ما مررتُ إلا بِــزَيْدٍ
    [  زَيْدٍ : اسم مجرور ]
    Saya hanya bertemu dengan Zaid[Zaid: isim yang dibaca jar dengan kasroh karena sebelumnya terdapat huruf jar 'بِ']
2. Mustatsna' bi illa munqati'an (المُستثنى بإلا منقطعاً )
Mustatsna’ dengan huruf illa tapi yang munqati' (antara mustatsna' dan mustatsna' minhu berbeda jenis), mustatsna' jenis ini mesti dibaca nashab, baik letaknya sebelum atau setelah  mustatsna’ minhu, atau baik kalamnya mujab [kalimat positif/tanpa kata 'tidak'] atau manfiy [kalimat negatif dengan kata 'tidak'].
Contoh:
جاءَ زَيْدٌ إلا حَقِيْبَتَــهُ
[حَقِيْبَةَ : مستثنى منصوب وعلامة نصبه فتحة ظاهرة في آخره لأنه اسم المفرد ]
Zaid telah datang, kecuali tasnya.[Tas: mustatsna' dibaca nashob, tanda nashobnya adalah fathah yang nampak diakhirnya, karena termasuk isim mufrod]

ما جاءَ زَيْدٌ إلا حَقِيْبَتَــهُ
 [حَقِيْبَةَ : مستثنى منصوب وعلامة نصبه فتحة ظاهرة في آخره لأنه اسم المفرد ]
Zaid tidak datang, kecuali tasnya
[Tas: mustatsna' dibaca nashob, tanda nashobnya adalah fathah yang nampak diakhirnya, karena termasuk isim mufrod]

3. Mustatsna' dengan huruf غير dan سوى
(المستثنى بغير و سوى)

Mustatsna’ jenis ini harus dibaca jar/majrur selamanya dengan cara idhafah ( غير dan سوى menjadi mudhof, adapun mustatsna' nya menjadi mudhof ilaih maka dibaca jar)
Contoh:
جاءَ القومُ غيرَ زَيْدٍ
Sekumpulan kaum telah datang kecuali Zaid
جاءَ القومُ سوى زَيْدٍ
Sekumpulan kaum telah datang kecuali Zaid

Kedua huruf istitsna’ ini memakai  hukum المستثنى بإلا (mustastna' dengan huruf إلا ) dalam i’rab.
Contoh:
> Kalam manfy (kalimat negatif)
 مَا جَاءَ غيرَ عَلِيٍَ أحدٌ
Tak seorang pun yang datang kecuali Ali
[kata غيرَ : dibaca nashob karena kalimatnya manfy, dan ia mendahului mustatsna' minhu 'أحدٌ'

> Kalam tam manfy (kalimat sempurna + negatif) dibaca Nashob
مَا احْتَرَقَ الفَصْلُ غيرَ سَبُّوْرَتِــهِ
Kelas tersebut tidak terbakar, kecuali papan tulisnya
[kata غيرَ : dibaca nashob karena kalimatnya manfy, dan mustatsna 'سَبُّوْرَتِــهِ' tidak mendahului mustatsna' minhu 'الفَصْلُ', dan mustatsna' ini juga masuk kategori munqati']

> Kalam tam manfy (kalimat sempurna + negatif) sebagai Badal
ما جاءَ القومُ غيرُ الـمُسَافِرِيْنَ
Sekumpulan kaum tidak datang, yang mana bukan termasuk para musafir
[Kata غيرُ dibaca Rofa' dengan dhommah, karena menjadi Badalnya kata 'القومُ']

Baca Juga: Pengertian Lengkap Tentang Badal 'البدل' dalam Ilmu Nahwu

> Kalam tam manfy (kalimat sempurna + negatif)
ماجَاءَ القومُ غيرَ زَيْدٍ
Sekumpulan kaum tidak datang kecuali Zaid
[Kata غيرَ dibaca Nashob dengan fathah, karena kalimatnya tam manfy 'kalimat sempurna dan negatif']

> Kalam naqis manfy (kalimat tidak sempurna dan negatif) sebagai Fai'il:
ما ذَهَبَ غيرُ زَيْدٍ
Tak ada yang pergi selain Zaid
[kata غيرُ menjadi fa'il dan dibaca Rofa' dengan dhommah,karena kalimatnya manfy dan tidak disebutkan mustatsna' minhunya]

> Kalam naqis manfy (kalimat tidak sempurna dan negatif) sebagai Maf'ul bih:
ما رأيتُ غيرَ زَيْدٍ
Saya tidak melihat seseorang kecuali Zaid
[Kata غيرَ menjadi maf'ul bih dari fi'il رأيتُ, ia dibaca Nashob dengan fathah, karena termasuk kalimat naqis manfy dan mustatsna' minhu nya tidak disebutkan]

> Kalam naqis manfy (kalimat tidak sempurna dan negatif) yang dibaca Jar:
مررتُ بــغيرِ زَيْدٍ
Saya bertemu dengan selain Zaid
[Kata غيرِ dibaca jar sebab didahului huruf jar, dan juga karena termasuk kalimat naqis manfy dan mustatsna' minhu nya tidak disebutkan]


4. Mustatsna' dengan خَلا, عَدَا, dan حاشا
(المُستثْنى بِخَلا و عَدَا و حاشا)
Mustatsna’ jenis ini mempunyai  dua hukum, yaitu:

  • Mustatsna' dibaca Nashob sebagai maf’ul bih, karena kata خَلا, عَدَا, dan حاشا sebagai fi’il madhi, jadi mustatsna'nya itu menjadi maf'ul bih dari kata خَلا, عَدَا, dan حاشا.
    Contoh:
    ذَهَبَ القومُ خَلا زَيْدًا
    Sekumpulan kaum pergi meninggalkan Zaid (membuat Zaid sendirian)
    [Kata خَلا adalah huruf istitsna' dan termasuk fi'il madhi, maka ia membutuhkan maf'ul bih, dan kata زَيْدًا lah yang menjadi maf'ul bih nya]
  • Mustatsna dibaca Jar karena خَلا, عَدَا, dan حاشا menjadi huruf jar tambahan.
    Contoh:
    رَجَعَ القومُ حاش زَيْدٍ
    [Kata حاش dianggap sebagi huruf jar, maka kata setelahnya 'mustatsnanya' harus dibaca jar زَيْدٍ].

    Lafad خلا serta lafad عدا paling sering menashobkan mustasna' dan jarang sekali membuat mustasnanya dibaca jar. Adapun lafad  حاش paling sering membuat mustasnanya dibaca jar dan jarang sekali menashobkan mustasnanya.
5. Mustatsna dengan lafad ليس dan  لا يكونُ
ليس dan لا يكونُ adalah bagian dari fi’il naqis (kata kerja yang tidak lengkap, baca juga: Pengertian Fi'il Tam dan Fi'il Naqis). Namun terkadang dua-duanya  bermakna ististna’. Mustasna’ dari lafad ليس dan لا يكونُ keadaannya akan selamanya dibaca Nashob, sebab  mustatsna tersebut menjadi khabarnya.
Contoh:
ذَهَبَ القومُ ليس زَيْدًا
Sekumpulan kaum yang telah pergi bukanlah Zaid

Demikianlah penjelasan ringkas tentang Pengertian Mustatsna' (المستثنى) dalam Ilmu Nahwu, semoga dapat bermanfaat dan menambah ilmu. Selamat belajar. :)



Pengeritan Munada (المنادى) berserta Macam-macamnya dalam Ilmu Nahwu

Pengeritan Munada (المنادى) berserta Macam-macamnya dalam Ilmu Nahwu

Pengertian Munada
Definisi Munada merupakan kalimah isim yang dinamakan  sesudah atau jatuh setalah huruf   nida. Penggunaan Munada dengan mempergunakan huruf-huruf   panggilan huruf   nida supaya  yang dipanggil mengunjungi  atau menoleh untuk  yang memanggil. Dalam bahasa arab, nida' artinya ialah  seruan.
Contoh Munada:
 ياَ عَبْدَ اللهِ
"Wahai, Abdullah"

Huruf nida’ berjumlah tujuh macam, yaitu
يا=َ أ= أَيْ= آ= هَياَ=أَياَ=وَا

Keterangan :

Huruf Nida (أَيْ) dan (أَ) dipakai  untuk menyeru sesuatu yang dekat. (أَياَ), (هَياَ) dan (آ) guna  menyeru sesuatu yang jauh. (ياَ) untuk seluruh  munada, baik dekat, jauh atau sedang. (وَا) guna  ratapan, yaitu dipakai  untuk meratapi sesuatu yang dirasakan  sakit, Contoh: (وَا كَبِدِي!)

Sedangkan andai  (ياَ) ditentukan dalam menyeru nama Allah ta’ala, sampai-sampai  nama Allah jangan  diseru dengan yang lainnya, dan dalam istighatsah (permintaan tolong), sampai-sampai  tidak diizinkan  meminta bantu  dengan di samping  (ياَ)

Huruf . (ياَ) dan (وَا) ditentukan guna  nudbah, sampai-sampai  selain dua-duanya  tidak dapat  digunakan guna  nudbah, tetapi  (وَا) dalam nudbah lebih tidak sedikit  digunakan

Macam-Macam Munada
1. Munada mufrad alam atau mufrad ma’rifat ialah  munada yang tidak berupa mudlaf atau syibhul mudlaf, baik munada tersebut  berupa tatsniyyah atau jama’, laksana  (ياَ زَيْدُ), (ياَ زَيْدَانِ), dan (ياَ زَيْدُونَ).

2. Munada nakirah maqshudah. Yaitu seluruh  isim nakirah yang jatuh sesudah  huruf   nida’ dan dimaksudkan guna  memu’ayyankannya (untuk sesuatu yang tertentu), Contoh :(ياَ رَجُلُ) “Wahai anak muda.”

3. Munada nakirah ghairu maqsudah. seluruh  isim nakirah yang jatuh sesudah  huruf   nida’ yang dimaksudkan tidak guna  sesuatu yang tertentu, laksana  orang buta yang menyampaikan  (ياَ رَجُلاً خُذْ بِيَدِي) “Wahai anak muda! Peganglah tanganku.”

4. Munada mudlaf. munada yang berupa rangkaian  mudlaf-mudlaf ilaih, laksana  (ياَ غُلاَمَ زَيْدٍ).

5. Munada syibhul mudlaf. munada yang berupa lafal yang memerlukan  pada lafal yang lainnya guna  kesempurnaan maknanya, laksana  (ياَ طاِلِعاً جَبَلاً)

Ketentuan Munada
Apabila sebuah  kata ada  AL ( الُْ) ada sejumlah  ketentuan dalam pemanggilannya.
1. Kata yang di panggil I’robnya marfu’
2. Menambahkan lafazh sesudah  huruf   nida’:
a. أَيُّهَا Bagi  isim mudzakkar
b. أَيَّتُهَا Bagi  isim muannats
Contoh: يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ =يَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ= يَا أَيَّتُهَا الْمَرْأَةُ= يَا أَيَّتُهَا الْمُسْلِمَاتُ

3. Khusus guna  lafazh jalalah Allah الله, melulu  boleh memakai  huruf   nida’ يَا . Contoh: يَا اَللهُ Biasanya guna  memanggil lafzhul jalalah Allah dipakai  اَللّهُمَّ

4. Terkadang munada melemparkan  huruf   Nida Contoh: رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوْفٌ رَحِيْمٌ Asalnya ialah  يَا رَبَّنَا يُوْسُفُ أَعْرِضْ عَنْ هَذَا Asalnya ialah  يَا يُوْسُفُ

5. Jika munada mudhof untuk  ya’ mutakallim maka ya’ boleh dibuang. Contoh: يَا رَبِّي وَلَدِ تَعَالَ Asalnya يَا وَلَدِي

Itulah pembahasan tentang Munada, semoga bermanfaat dan selamat belajar. :)

Pengertian Tamyiz (التمييز) dalam Ilmu Nahwu


Pengertian Tamyiz (التمييز) dalam Ilmu Nahwu
Salah satu ulasan  dalam ilmu Nahwu yang penting ialah  tamyiiz. Tamyiiz adalah sebuah kata atau lafadz yang dibaca mansub yang bermanfaat  menjelaskan isim yang samar pada suatu  kalimat. Berikut definisi  dalam buku  jurumiyah;
الاِسْمُ المَنْصُوْبُ المُفَسِّرُ لِمَا انْبَهَمَ مِنَ الذَّوَاتِ
Artinya: Tamyiz adalah isim yang dibaca nashob yang bermanfaat  menjelaskan hal-hal yang samar pada suatu  kalimat.
Sedangkan definisi  lain dari tamyiiz dalam buku  nahwu wadih merupakan
إِسْمٌ يُذْكَرُ لِبَيَانِ المُرَادِ مِنْ اسْمٍ سَابِقٍ يَصْلَحُ لِأَنْ تُرَادَ بِهِ أَشْيَاءٌ كَثِيْرَةٌ
Artinya : kata (isim) yang kegunaannya  menjelaskan maksud dari kata (isim) sebelumnya.
Contoh
- رَأَيْتُ أرْبَعَةَ عَشَرَ
Artinya : Saya menyaksikan  empat belas
- رَأَيْتُ أرْبَعَةَ عَشَرَ غَنَمًا
Artinya : Saya menyaksikan  empat belas kambing


Kalimat kesatu  pada misal  di atas masih belum jelas karena cuma  menuliskan  kata أرْبَعَةَ عَشَرَ yang dengan kata lain  empat belas dan tidak melafalkan  benda/barang yang dihitung (tamyiznya). Sehingga kalimat itu  belum terbilang kalimat yang menyeluruh  dan masih rancu. Kemudian pada misal  kedua hitungan angka أرْبَعَةَ عَشَرَ ditambahkan dengan kata غَنَمًا yang dengan kata lain  kambing,maka kalimatnya pun menjadi sempurna dan dapat dipahami  menjadi “saya menyaksikan  empat belas kambing”. Kata kambing/ghonaman  adalah tamyiz yang menyatakan  angka أرْبَعَةَ عَشَرَ yang dengan kata lain  empat belas adalah berupa kambing, kemudian  kalimat itu  menjadi menyeluruh  dan dapat  dipahami.
Ada dua istilah dalam pembahasa ini yang perlu dicerna  terlebih dahulu sebelum kita mengetahui  pembagian tamyiz yakni  istilah mumayiz. Apabila tamyiz adalah isim yang menyatakan  suatu kata yang masih rancu, maka mumayiz ialah  kata rancu yang diterangkan  oleh tamyiz.
Contoh :
اِشْتَرَيْتُ رِطْلًا بَلْحًا
Artinya : Saya melakukan pembelian  setengah kilo kurma.
Kalimat itu  yang menjadi mumayiz ialah  kata رِطْلًا yang dengan kata lain  setengah kilo sementara  tamyiz pada kalimat tersebut ialah  بَلْحًا yakni  kurma. Kata “kurma” menyatakan  hitungan “setengah kilo”. Apabila kata “kurma” tidak dilafalkan  maka kalimat itu  belum menyeluruh  dan masih rancu.

Pembagian Tamyiz

Tamyiz dipecah  menjadi dua bila  disaksikan  dari mumayiznya yakni  mumayiz malfud dan mumayiz malhud.

1. Mumayiz malfud ialah  kalimat yang berisi  tamyiz dan dilengkapi dengan mumayiznya. Biasanya format  mumayiznya berupa berat, timbangan, luas dan jumlah.
Contoh:
اِشْتَرَيْتُ رِطْلًا رُزًّا
Artinya : saya telah melakukan pembelian  setengah kilo padi
بَاعَنِي التَاجِرُ مِتْرًا حَرِيْرًا
Artinya : Penjual menjual untuk  saya satu meter kain sutera
فِي الحَقْلِ عِشْرُوْنَ غَنَمًا
Artinya : Di ladang terdapat  dua puluh kambing

Dari sejumlah  contoh di atas, kita dapat  mengetahui bahwa ketiga kalimat itu  dilengkapi dengan mumayiz yakni  kata رطلا، مترا، عشرون (kilo, meter, dua puluh) yakni  timbangan, ukuran, dan jumlah. Maka dengan adanya mumayiz kalimat tersebut disebut  dengan mumayiz malfud. Sedangkan kata yang mengindikasikan  posisi/kedudukan sebagai tamyiz pada kalimat di atas ialah  رُزًّا، حَرِيْرًا، غَنَمًا (nasi, kain sutera, kambing)

2. Tamyiz malhud (ملحوظ) ialah  Tamyiz yang adalah pindahan atau peralihan  dari Fail, Maful bih, dan Mubtada.
> pinadahan dari fail, misal  : طاب زيد خُلُقًا, asalnya ialah  : طاب خُلُق زيد, dengan mengalihkan  fail (خلق) kebelakang dan dijadikan tamyiz.
> pindahan dari maful bih, contoh: و فجّرنا الأرض عيوناً, aslinya ialah  : و فجّرنا عيون الأرض, maful bih (عيون) di pindah ke belakang dan dijadikan tamyiz.
> pindahan dari mubtada, misal  : أنا أكثر منك مالاً, aslinya مالي أكثر منك.

Pada tiga misal  di atas tidak dilafalkan  mumayiznya dan melulu  tamyiznya saja yang dilafalkan  yaitu kata هواءا، سرورا، قلبا sampai-sampai  kalimat-kalimat tersebut termasuk  pada jenis yang kedua yakni  mumayiz malhud.

Itulah pembahasan singkat tentang Tamyiz, semoga bermanfaat dan selamat belajar. :)

Pengertian Maful Bih (مفعول به) dalam Ilmu Nahwu


Pengertian Maful Bih (مفعول به) dalam Ilmu Nahwu
Salah satu pembahsan dari mansubat al-asmai (isim-isim yang dinashabkan) ialah  maf’ul bih. agar  memahaminya lebih mudah, yang dimaksud dengan maf’ul bih ini ialah  “objek” dalam bahasa indonesia. Jadi, objek dalam bahasa indonesia tersebut  sama halnya dengan maf’ul bihi dalam bahasa arab.

Baca Juga: Maf'ul Mutlaq, Maf'ul Liajlih, Maf'ul Ma'ah, dan Maf'ul Fiih.

Pengertian Maf'ul Bih

Adapun definisi  maf’ul bih dalam ilmu nahwu ialah  :

isim manshub (yang dibaca nashob) yang menjadi sasaran tindakan  (objek).

Maka, jelas sekali, yang dimaksud maf’ul bih menurut arti istilah ialah  isim manshub dimana posisinya menjadi sasaran tindakan  si pelaku.

Contoh :

قَرَأْتُ كِتَابًا = Aku sudah  membaca Buku

Dalam misal  di atas, yang menjadi sasarn perbuatannya (memukul) ialah  kata “kitaaban”, maka kata tersebut  menjadi maf’ul bih.

Contoh lainnya :

اَكَلْتُ الطَعَامَ = Aku sudah  memakan makanan.

Yang menjadi sasaran perbuatannya (memakan) ialah  makanan, maka kata tersebut  menjadi maf’ul bih.

Dengan dua misal  di atas sudah paling  jelas sekali untuk mengetahui  pembahasan mengenai  maful bih dalam ilmu nahwu.

Pembagian Maf’ul Bih

Dalam ulasan  tentang maful bih , maka maf’ul bih terbagi atas dua bagian yakni  maf’ul bihi isim dzahir (nampak) dan isim dhamir (kata ganti). Maf’ul bih isim dzahir ialah  maf’ul bih yang terdiri atas isim dzahir (isim yang nampak) contohnya laksana  yang dua tadi di atas, objeknya berupa kata yang nampak dan bukan kata ganti, sementara  yang dimaksud dengan maf’ul bih isim dhamir (kata ganti) ialah  maf’ul bih yang terdiri dari isim dhamir misal  :

ضَرَبَنِي = Dia (laki-laki) sudah  memukulku.

Lafadz ضَرَبَ ialah  fi’il madhi, sementara  fa’ilnya ialah  dhamir mustatir (disembunyikan) takdirnya هُوَ, huruf   nun-nya ialah  lil wiqaayah, sementara  huruf   ya-nya ialah  ya mutakalim wahdah dimana kedudukannya menjadi maf’ul bih.

ضَرَبَكَ = Dia (laki-laki) sudah  memukulmu (laki-laki)

Lafadz ضَرَبَ ialah  fi’il madhi, fa’ilnya mustatir andai  ditakdirkan menjadi هُوَ, dan huruf  كَ  nya menjadi maf’ul bih.

Demikian ulasan  tentang maful bih dalam ilmu nahwu bahasa arab. Semoga bermanfaat. :)