Contact Us - Privacy Policy - Disclaimer - Terms of Service - About
loading...

Kaidah Penulisan Hamzah yang Benar Dalam Bahasa Arab


Sebelum kita memahami kaidah penulisan hamzah ada baiknya kita awali dengan pembahasan harokat terlebih dahulu, bahwasanya dalam Bahasa Arab terdapat 4 harakat yang digunakan (Kasrah, Dhammah, Fathah, dan Sukun) keempat harakat tersebut mempunyai tingkat kekuatan yang berbeda, dan tiap-tiap harakat memiliki pasangan huruf yang berbeda, berikut ini tabelnya:

Pengertian Al-khath [الخط] dalam Bahasa Arab


Pengertian Al-khath [الخط] dalam Bahasa Arab



Al-khath
Pengertian khath : membentuk lafal dengan huruf hijaiyah yang diucapkan,agar apa yang ditulis sesuai dengan huruf yang diucapkan.
Pada dasarnya setiap kata hendaknya ditulis dengan bentuk lafadznya, kira-kira dari permulaan dan berhentinya. Dan inilah hakikat dari kitabah. Oleh karena itu:
Mereka menulis hamzah washal di tengah kalimat walaupun hamzah tersebut tidak dibaca. Karena apabila lafal yang ada hamzah washalnya itu dibuat permulaan kalimat,maka hamzah washal tadi harus dibaca. Contoh :
Hamzah washal
Arti
Tidak dibaca
Dibaca
جاء الحق
الحق جاء
Kebenaran telah datang
سافر ابنك
ابنك سافر
Anak (lk) mu sudah datang


Kecuali apabila alif lam itu didahului oleh lam jar atau lam ibtida, maka hamzahnya harus dibuang. Misal: للرجل , للمرأة
Contoh :
Lafadz
Arti
للرجل أقوى من المرأة
Bagi seorang laki-laki lebih kuat dari pada wanita
و للمرأة عاطفة منه
Bagi seorang wanita lebih halus kasih sayangnya dibanding laki-laki


Mereka menulis ha’ mati seperti contoh berikut ره زيدا و قه نفسك karena ketika diwaqafkan anda akan mengucapkannya و قه ره dalam firman Allah juga “ "لكنا هو الله ربيkarena asal katanya yaitu لكن و أنا
Mereka menulis dengan ha’ terhadap ta’ta’nits yang diwakafkan dengan ha. Seperti فاطمة و رحمة
Mereka menulis dengan (bentuk) ta’ terhadap ta’ ta’nits yang apabila wakaf dibunyikan dengan ta’
Misalkan : أخت , بنت, فاطمات, رحمات
Ada yang mengikuti pendapat pertama, yaitu dengan ta’ mabshutoh (ta’ yang tidak dibaca ha ketika wakaf), maka ia menulisnya dengan ta’ seperti : فاطمت, رحمت , ada juga yang mengikuti pendapat lain yang dengan ha’ ,maka menulisnya dengan ha’. Seperti : فاطماه, رحماه
mereka menulis isim berharakat yang dibaca nashab dengan ditambah alif di akhir kata. Karena lafadz tersebut ketika waqaf di waqafkan dengan alif, seperti : رأيت خالدا
mereka menulis lafadz إذا dan nun taukid dengan alif, contohnya lafadz اكتبا karena ia ketika waqaf diwaqafkan dengan alif. Dan ada yang mewaqafkannya dengan nun, maka menulisnya dengan nun pula seperti أكتبن , إذن
Mereka menulis isim manqus yang ya’ nya dibuang karena tanwin dengan tanpa memasang ya’ , karena ia diwaqafkan dengan ya’. Misalnya : قاض

Pengertian Laa An-Nafiyah Liljinsi (لا النافية للجنس) dalam Ilmu Nahwu

Pengertian Laa An-Nafiyah Liljinsi (لا النافية للجنس) dalam Ilmu Nahwu


A. Pengertian Laa An-Nafiyah Liljinsi (لا النافية للجنس) 

La an-nafiyatu lil-jinsi merupakan :

Isim yang mengindikasikan  atas penafiyan jenis yang statusnya menjadi khobar, yang jatuh sesudah  “LA”. Contoh :
لاَ رَجُلَ فِي الدَّارِ
"Tidak ada seorang laki-laki di dalam rumah"

B. Amal/Fungsi ("لا" النافيةِ للجنْسِ )
La an-nafiyatu lil-jinsi memiliki  fungsi laksana  “ إنّ “ Yaitu menashobkan isim serta merofa’kan khobarnya.
Contoh :
 لاَ رَجُلَ فِي الدَّارِ

asal kalimat di atas adalah :

رَجُلٌ فِي الدَّارِ

susunan mubtada 'رَجُلٌ' dan khobar 'فِي الدَّارِ', keduanya juga sama sama dibaca rofa' karena mubdata' dan khobar memang harus dibaca rofa'.

Kemudian kemasukan laa an nafiyah liljinsi (لا) menjadi:
لاَ رَجُلَ فِي الدَّارِ
mubtada' menjadi isimnya laa (لا) dan dibaca nashob tanpa tanwin "رَجُلَ", lalu khobarnya tetap dalam makhal rofa' 'فِي الدَّارِ'.


Hal itu  berlaku andai  memenuhi empat kriteria  di bawah ini  :

1. “La” dilafalkan  dalam Nash ditujukan guna  menafikan seluruh  jenis yang ada. Contoh :
لا طُلاَّبَ في المدرسة
"Tidak ada semua siswa di sekolah"
Kata “لا“ menafikan seluruh  siswa yang ada, tidak ada dispensasi  sama sekali.

2. Isim dan khobarnya “La” berbentuk Nakiroh, misal  : لاَ رَجُلَ فِي الدَّارِ
kata 'رَجُلَ' sebelumnya adalah nakiroh yang dibaca dengan tanwin 'رَجُلٌ', tapi karena kemasukan "Laa" maka ia harus dinashob dan dihilangkan tanwinnya.

3. “La” dan isimnya jangan  dipisah. Contoh :
 لا في الدار رجل ولا امرأة
Maka “ La “ tidak beramal atau tidak berfungsi sesuai dengan pengamalannya.

4. “ La “ jangan  kemasukan huruf   jer, misal:
"سافرت بلا زاد"
"Saya bepergian tanpa membawa bekal"
huruf jar 'ب' tidak boleh digabung dengan "Laa".


C. Macam-macam Isim "لا" النافيةِ للجنس
Isimnya “ La “ terbagi menjadi tiga.
1) Isim Mufrod, yakni  isim yang tidak di mudhofkan pada yang lain, baik berupa tasniyah, jama atau yang lainya. misal  :
 "لا رجلَ في الدار"
 ذلك الكتابُ لا رَيبَ

2) Berbentuk Mudlof, misal  :
 لا رجلَ سُوءٍ عندنا
 لا أخا جهلٍ مُكرَّمٌ

3) Berbentuk Syibhu Mudlof, misal  :
 "لا قبيحاً خُلقُه خاضرٌ"
 "لا مذموماً فعلُه عندنا"


D. Keadaan Isim dan Khobarnya “"لا" النافية للجنس
Beberapa kedudukan  isim dan khobarnya   :
a) Isim “ La “ terkadang di buang, misal  :
"لا عليكَ"
Yang asalnya : لا بأسَ، أو لا جناحَ عليك
"Tidak apa-apa, Atau Tidak ada dosa bagimu"

b) Biasanya jika khobar sudah mafhum atau sudah diketahui, maka khobar tersebut dibuang, contoh:
لَا رَجُلَ
لَا زَيْدَ
لَا سَمَكَ

c) Khobarnya andai  tidak diketahui atau tidak jelas maka mesti  disebutkan

d) Khobar “ La “ mesti  Mufrod, dengan kata lain  tidak boleh berbentuk jumlah atau syibhu jumlah. Contoh :
 "لا فقرَ أشدُّ من الجهلِ، ولا مال أعزُّ من العقل، من العُجبِ"


E. Hukum “ La “ andai  diulang-ulang
Jika terdapat  “ La “ diulang-ulang maka terdapat sejumlah  hokum, diantaranya :
a. Semua dibaca nashob, berstatus Mabni, diserupakan  dengan amalan “إنَّ“ misal  : "لا حَولَ ولا قُوَّةَ إلا باللهِ"
b. Adakalanya dibaca rofa’ semuanya, diserupakan  dengan amalan “ليس“ misal  :"لا حولٌ ولا قوَّةٌ إلاّ بالله"
c. Yang kesatu  dibaca nashob dan yang kedua dibaca jer, contoh: "لا حولَ ولا قوَّةٌ إلاّ باللهِ"
d. Yang kesatu  dibaca rofa’ dan yang kedua dibaca jer, misal  : "لا حولٌ ولا قوةَ إلا باللهِ"
e. Yang kesatu  mabni fathah dan yang kedua dibaca nashob sebagai athof, misal  : "لا حولَ ولا قوةً إلاّ باللهِ"

Pengertian Kalam [الكلام] dan Pembagiannya dalam Ilmu Nahwu


Pengertian Kalam [الكلام]  dan Pembagiannya dalam Ilmu Nahwu


Pengertian

Sesuai arti bahasa kalam adalah isim yang diucapkan oleh manusia baik itu berfaedah atau tidak, sedangkan sesuai arti istilah kalam adalah :

الكَلَامُ هُوَ اللَّفْظُ المُرَكَّبُ المُفِيْدُ بِالوَضْعِ

Kalam adalah lafadz (اللَّفْظُ) yang tersusun (المُرَكَّبُ), berfaedah (المُفِيْدُ), dan diucapkan dengan sadar (بالوضع).

Maksud dari arti di atas menurut para ahli nahwu yaitu kalam itu harus memenuhi empat syarat, yaitu:

اللَّفْظُ  /  lafadz yang dimaksud lafadz adalah suara yang mengandung beberapa huruf hijaiyah, contoh jika kamu katakan 'زَيْدٌ' , maka itu suara yang tersusun dari huruf hijaiyah berupa ز ي د, jika tidak tersusun dari huruf hijaiyah seperti suara benda yang jatuh maka tidak termasuk lafadz.

المُرَكَّبُ  / yang tersusun : maksudnya ialah yang tersusun dari dua kata atau lebih, contoh:
 قَامَ زَيْدٌ
زَيْدٌ قَائِمٌ
pada contoh pertama tersusun dari fi'il dan fa'il, setiap fa'il itu dibaca rofa', maka kata زَيْدٌ dibaca rofa' dengan tanda rofa'nya yaitu dhommah, dan pada contoh kedua di atas tersusun dari mubtada' dan khobar, setiap mubtada' dibaca rofa' karena berada di awal kalimat, dan khobar juga dibaca rofa' karena mubdata'.
Maka yang dimaksud dengan murokkab itu tersusun dari dua atau lebih kata, dan jika hanya terdapat satu kata saja 'زَيْدٌ' maka bukan termasuk kalam menurut ahli nahwu.

المُفِيْدُ   /  berfaedah: maksudnya adalah kalimat yang diucapkan itu harus memiliki faedah yang membuat pembicara dan lawan bicaranya itu diam karena sudah paham dengan yang dikatakan, contoh seperti kalimat:
 قَامَ زَيْدٌ  Zaid berdiri
زَيْدٌ قَائِمٌ  Zaid orang yang berdiri
maka kedua kalimat di atas itu memberikan faedah atau informasi lengkap dan utuh kepada pembicara dan lawan bicaranya bahwa zaid berdiri, maka sesungguhnya pendengar/lawan bicara jika mendengarkan kedua kalimat di atas tidak menunggu apapun, itu yang menunjukkan bahwa ia paham karena kalimatnya sudah sempurna, dan membuat pembicara diam karena tidak perlu menjelaskan apapun lagi.

Adapun kata yang murokkab tapi tidak mufid, contoh:
 غُلَامُ زَيْدٍ Anak Zaid
إنْ قَامَ زَيْدٌ  Jika zaid berdiri
pada contoh pertama, itu hanya susunan yang mudhof - mudhof ilaih yang kedudukannya hanyalah kata tanpa penjelas dan tanpa fi'il.
dan contoh kedua, itu adalah kalimat syarat yang diawali dengan 'jika' dan tidak mengandung kalimat jawab, maka contoh kedua juga menjadi tidak lengkap dan membuat orang yang mendengar akan bertanya lagi. 
maka kedua contoh di atas walaupun murokkab atau tersusun tapi karena tidak berfaedah maka ia tidak termasuk kalam.

بالوضع  /  diucapkan secara sadar Sebagian ulama nahwu menafsirkan kata ini dengan kata 'sadar', maka semua kata atau yang diucapkan oleh "orang tidur/ngelindur" "orang gila" maka tidak termasuk kalam menurut ahli nahwu, sebagian dari ahli nahwu juga menafsirkan kata بالوضع dengan perkataan orang Arab, maka perkataan orang selain Arab itu juga tidak termasuk kalam menurut ahli nahwu.



Pembagian kalam

Kalam itu ada tiga, yaitu:

Isim

Selengkapnya di sini

Fi'il 

Selengkapnya di sini

Huruf

Selengkapnya di sini


Demikianlah penjelasan tentang kalam dan pembagiannnya, semoga bermanfaat dan selamat belajar. :)

Pengertian Mashdar Muawwal (Gabungan dari أنْ + الفعل)

Pengertian Mashdar Muawwal (Gabungan dari أنْ + الفعل)

Contoh:

يَسُرُّنِي أنْ تَصْدُقَ     ----->    يَسُرُّني صِدْقُكَ

Kejujuranmu menyenanganku  <-----   Saya senang kamu jujur

أرِيْدُ أنْ آكٌلَ التُفَّاحَ   -------->   أُرِيْدُ أكْلَ التُفَّاحَ

Saya ingin makan apel <------ Saya ingin memakan apel

أنْ تَفْعَلَ الوَاجِبَ خَيْرٌ لَكَ    ------>  فِعْلكَ الواجِبَ خَيْرٌ لَكَ

Pekerjaanmu yang wajib itu baik untukmu  <---- Hendaknya kamu mengerjakan kewajiban, itu baik untukmu

طَلَبَ التِلْمِيذُ أنْ يُجِيْبَ    ------>  طَلَبَ التِلْمِيْذُ الإجَابَةَ

Seorang siswa meminta jawaban <---- Seorang siswa meminta ia menjawab

رَغِبْتُ فِيْ أنْ يُسَافِرَ   ------->  رَغِبْتُ فِيْ سَفَرِهِ

Saya senang dengan safarinya  <----- Saya senang dia bersafari

عَجِبْتُ مِنْ أنْ تَتَكَبَّرَ  ------>  عَجِبْتُ مِنْ تَكَبُّرِكَ

Saya terkejut dengan kesombonganmu <---- Saya terkejut kamu berlaku sombong



Pembahasan:

Pada contoh di atas, terdapat kata أنْ, yang mana tugasnya adalah menashobkan fi'il mudhore, temen-temen bisa membaca penjelasannya lebih rinci di sini tentang nashob. Baik sekarang mari kita perhatikan kalimat di atas yang terdapat kata أنْ + fi'il di atas, kemudian lihat juga kalimat sebelahnya yang ditunjukan dengan panah, jika kita perhatikan maka kalimat yang ditunjukkan dengan panah adalah bentuk lain dari gabungan أنْ + fi'il, sebagai contoh kalimat pertama di atas:
يَسُرُّنِي أنْ تَصْدُقَ    :  terdapat kata   أنْ + fi'il, yaitu ' أنْ تَصْدُقَ', gabungan seperti ini sebenarnya adalah mempunyai arti yang sama dengan mashdarnya yaitu 'صِدْقُكَ'.

Atau memungkinkan pergantian kata dari أنْ تَصْدُقَ menjadi صِدْقُكَ tanpa merubah arti, syaratnya hanya satu yaitu harus diawali dengan أنْ dan disambung dengan fi'il mudhore'. maka susunan tersebut bisa diganti menjadi mashdar.

Dan jika diperhatikan, kalimat yang ditunjukan oleh panah atau kalimat yang terdapat masdarnya itu i'robnya disesuaikan dengan kedudukan أنْ + fi'il pada kalimat sebelumnya, jika sebelumnya beri'rob rofa', nashob, atau jar ya kalimat yang dijadikan mashdar juga harus beri'rob sama.



Kaidah:
  1. أنْ adalah huruf mashdar muawwal [dikatakan muawwal karena susunan أنْ + fi'il itu bisa ditakwil menjadi mashdar].
  2. Susunan  أنْ + fi'il terkadang bisa berupa fa'il, Naibul fa'il, mubtada', khobar, maf'ul bih, atau juga berupa majrur karena huruf jar.




Pengertian Dharaf Zaman dan Dharaf makan dalam Ilmu Nahwu


Pengertian Dharaf Zaman dan Dharaf makan dalam Ilmu Nahwu

 Contoh:

مَكَثْتُ بِجَاكَرْتَا شَهْرًا  [Saya berada di Jakarta selama Sebulan]

شَرِبَ عَلِيٌّ الدَّوَاءَ لَيْلًا  [Ali meminum obat pada malam hari]

جَلَسْتُ عَلَى الكُرْسِيِّ لَخْظَةً [Saya duduk di atas kursi sebentar]

ذَهَبْتُ إلَى بَيْتِ زَيْدٍ   الأحَدِ [Saya pergi ke rumah Zaid pada hari Senin]

****

وَقَفْتُ أمَامَ البَابِ   [Saya berhenti di depan pintu]

جَلَسَتِ الهِرَّةُ تَحْتَ الكُرْسِيِّ  [Kucing duduk di bawah kursi]

نَامَ الكَلبٌ خَلْفَ البَابِ [Anjing itu tidur di belakang pintu]

يَطِيْرُ الطَيْرُ فَوْقَ البَيْتِ [Burung terbang di atas rumah]



Pembahasan:

Pada 4 kalimat di bagian pertama terdapat kata-kata yang saya tandai hijau, seperti :شَهْرًا  لَيْلًا  لَخْظَةً  dan يَوْمَ . dan jika kita perhatikan baik-baik, maka kata-kata tersebut ternyata dibaca nashob, tapi sebelumnya mari kita mencari tahu apa hubungan antara kata-kata yang berwarna hijau di atas dengan fi'il yang ada pada kalimat-kalimat tersebut di atas, maka kita cukup membahas dua kalimat pertama saja, berikut penjelasannya:

Jika kamu mengatakan Kalimat ini "مَكَثْتُ بِجَاكَرْتَا/Saya berada di Jakarta", apakah lawan bicaramu akan mengerti berapa lama kamu berada di Jakarta? maka jawabannya adalah 'TIDAK',  tapi jika kamu mengatakan 'شَهْرًا /Sebulan' maka lawan bicaramu akan langsung paham seberapa lama keberadaanmu di Jakarta. Begitu juga jika kamu mengatakan kalimat ini 'شَرِبَ عَلِيٌّ الدَّوَاءَ' lawan bicaramu juga tidak akan mengerti kapan Ali meminum obat, tapi jika kamu mengatakan 'لَيْلًا /Malam hari' maka ia akan langsung paham bahwa Ali meminum obat pada malam hari, begitu juga penjelasan pada dua kalimat lainnya pada bagian pertama di atas, dan isim-isim di atas yang berwarna hijau yang dibaca nashob itu adalah isim yang menjelaskan waktu kapan terjadinya suatu pekerjaan, maka isim ini disebut juga dengan dharaf zamaan (keterangan waktu).

Sekarang mari kita lihat contoh-contoh kalimat di bawah bintang atau bagian kedua yang berwarna biru, yaitu kata : أمَامَ تَحْتَ خَلْفَ dan فَوْقَ .  Maka kita temui semua kata tersebut juga dibaca nashob, kemudian kita mencari tahu hubungan antara kata berwarna biru dengan kata kerja di setiap kalimat-kalimat tersebut dari segi ilmu Nahwunya yang juga telah di bahas di dharaf zamaan di paragraf atas, maka jika kamu mengatakan kalimat 'وَقَفْتُ/saya berhenti' lawan biacaramu tidak mengerti secara pasti dimana kamu berhenti, tapi jika kamu mengatakan ' أمَامَ البَابِ /di depan pintu' maka lawan bicaramu akan langsung mengerti bahwa kamu berhenti di depan pintu. Begitu juga jika kamu mengatakan 'جَلَسَتِ الهِرَّةُ /kucing duduk' lawan bicaramu cuma tahu 'kucing duduk' tapi tidak tahu dimana kucing itu duduk, tapi jika kamu mengatakan 'تَحْتَ الكُرْسِيِّ /di bawah kursi' maka lawan bicaramu akan langsung paham bahwa kucing itu duduk di bawah kursi, begitu juga penjelasan dua kalimat terakhir di atas, maka isim-isim berwarna biru yang dibaca nashob di atas, menjelaskan tentang dimana saat kejadian itu berlangsung, dan isim-isim ini disebut juga dengan dharaf makaan (keterangan tempat).

Dan antara dharaf zamaan dan dharaf makaan juga disebut dengan maf'ul fiih, temen-temen bisa membaca tentang maf'ul fiih selengkapnya di sini: Pengertian Maf'ul Fiih dalam Ilmu Nahwu.


Kaidah:
  1. Dharaf Zaman (Keterangan waktu) adalah isim yang dibaca nashob yang menerangkan waktu kapan terjadinya suatu pekerjaan.
  2. Dharaf makaan (keterangan tempat) adalah isim yang dibaca nashob yang menerangkan dimana kejadian itu berlangsung.
Demikian penjelasan tentang dharaf zamaan dan dharaf makaan, penejalasan di atas saya ambil dari kitab Nahwu Wadhih juz 2, temen-temen bisa download kitabnya dengan klik link di bawah ini:





Referensi:
  • Kitab Nahwu Wadhih



Pengertian Naibul Fail [نَائب الفاعل] dalam Ilmu Nahwu

Pengertian Naibul Fail [نَائب الفاعل] dalam Ilmu Nahwu


Contoh:

Contoh dari fi'il madhi

فَتَحَ زَيْدٌ البَابَ          ----->       فُتِحَ البَابُ

Pintu itu dibuka  <-----         Zaid membuka pintu itu

أَكَلَ زَيْدٌ البُرْتُقَالَ     ----->   أُكِلَ البُرْتُقَالُ

Jeruk itu dimakan  <-----   Zaid memakan jeruk itu

كَسَرَ زَيْدٌ الإِنَاءَ   ----->      كُسِرَ الإنَاءُ

Pot bunga itu dipecah  <----- Zaid memecahkan pot bunga itu

قَطَفَ زَيْدٌ الوَرْدَةَ   ----->   قُطِفَ  الوَرْدَةُ

Bunga mawar itu dipetik  <----- Zaid memetik bunga mawar itu

                      ***
Contoh dari fi'il mudhori

يَرْكَبُ زَيْدٌ الحِصَانَ    ----->  يُرْكَبُ الحِصَانُ

Kuda itu ditunggangi  <----- Zaid menunggang kuda itu

يَحْلُبُ زَيْدٌ البَقَرَةَ    ----->  تُحْلَبُ البَقَرَةُ

Susu Sapi itu diperah  <------   Zaid memerah susu sapi itu

 يَحْمِلُ زَيْدٌ الكِتَابَ   ----->  يُحْمَلُ الكِتَابُ

Buku itu dibawa  <------ Zaid membawa buku itu 

يَأخُذُ زَيْدٌ المِكْنَسَةَ   ----->  تُأخَذُ المِكْنَسَةُ

Sapu itu diambil  <----- Zaid mengambil sapu itu


Pembahasan:

Perhatikan 4 contoh kalimat pertama [dari fi'il madhi] yang berada di bagian kanan, pada kalimat tersebut terdapat fi'il madhi [predikat/kata kerja], fa'il [subjek/pelaku] dan maf'ul bih [objek], bandingkan dengan kalimat sebelah kirinya yang hanya ada dua kata saja yaitu fi'il madhi yang berubah bentuk harokatnya dan satu kata setelahnya. perhatikan fi'il yang berubah harokatnya yang berwarna merah (فُتِحَ أُكِلَ كُسِرَ  قُطِفَ ), huruf pertama berharokat dhommah dan huruf sebelum huruf akhir berharokat kasroh, fa'il [Subjek] nya dihilangkan dan yang menggantikan adalah yang sebelumnya menjadi maf'ul bih, maka berubah menjadi rofa' (البَابُ  البُرْتُقَالُ  الإنَاءُ  الوَرْدَةُ ) yang mana sebelumnya dibaca nashob  (البَابَ  البُرْتُقَالَ  الإِنَاءَ  الوَرْدَةَ ).

Sedangkan pada 4 contoh kalimat dari fi'il mudhori di bawahnya, fi'il yang berwarna biru di atas harokatnya juga berubah, hanya saja berbeda dari fi'il madhi. Perhatikan kata (يُرْكَبُ  تُحْلَبُ   يُحْمَلُ   تُأخَذُ) semua kata tersebut huruf pertamanya berharokat dhommah, dan huruf sebelum huruf akhirnya berharokat fathah, dan jika diperhatikan, fa'il [subjek] pada kalimat tersebut juga dihilangkan, dan digantikan posisinya dengan isim yang tadinya menjadi maf'ul bih [objek] yaitu yang berwarna hijau (الحِصَانُ  البَقَرَةُ  الكِتَابُ   المِكْنَسَةُ)  semua kata tersebut beri'rob rofa' karena menggantikan posisi fa'il yang dihilangkan.

Semua maf'ul bih di atas yang kemudian berubah menjadi warna hijau itu semuanya dinamakan juga Naibul Fa'il atau pengganti fa'il [objek].


Kaidahnya:

  1. Naibul Fa'il adalah isim yang dibaca rofa' yang menggantikan posisi fa'il yang dibuang.
  2. Jika fi'il yang disandarkan ke Naibul Fa'il adalah fi'il madhi, maka fi'il madhi tersebut harokatnya harus dirubah "huruf pertamanya diganti Dhommah, dan huruf sebelum huruf akhirnya berharokat kasroh". Adapun jika Naibul Fa'il disandarkan kepada fi'il mudhore, maka fi'il mudhore tersebut harus diganti harokatnya menjadi "huruf pertama diganti dhommah, dan huruf sebelum huruf akhir harus diganti fathah".
    Dan fi'il-fi'il yang diganti harokatnya ini dinamakan juga dengan fi'il mabni majhul.
    (Baca Selengkapnya di sini: Pengertian Fiil Malum dan Fiil Majhul)
  3. Jika Naibul Fa'il nya berupa muannats [perempuan] maka fi'ilnya juga harus diganti menjadi muannats, begitu juga sebaliknya. Jika naibul fa'il nya mudzakkar [laki-laki] maka fi'ilnya juga harus mudzakkar.


Demikianlah penjelasan singkat tentang Naibul Fa'il dalam Ilmu Nahwu, penejalasan di atas saya ambil dari kitab Nahwu Wadhih, temen-temen bisa download kitabnya dengan klik link di bawah ini:





Referensi:
  • Kitab Nahwu Wadhih

Pengertian Jumlah Mufidah (الجملة المفيدة) dalam Ilmu Nahwu [Kutipan Kitab Nahwu Wadhih]

Pengertian Jumlah Mufidah (الجملة المفيدة)  dalam Ilmu Nahwu [Kutipan Kitab Nahwu Wadhih]


Contoh:

البَيْتُ جَمِيْلٌ                      Rumah itu bagus

الشَّمْسُ غَارِبَةٌ                  Matahari terbenam

ذَهَبَ عَلِيٌّ إِلَى المَدْرَسَةِ        Ali pergi ke sekolah

السَّيَّارَةُ كَبِيْرَةٌ                   Mobil itu besar

قَطَفَ زَيْدٌ وَرْدَةً                Zaid memetik bunga mawar


Pembahasan:

Jika kita lihat contoh-contoh di atas, maka semuanya tersusun dari dua kata, bahkan lebih. Salah satunya pada contoh pertama, kata pertama  'البَيْتُ' dan kedua 'جَمِيْلٌ'. Jika kita hanya menggunakan satu kata saja misal 'البَيْتُ/Rumah' maka itu tidak memahamkan dan hanya mempunyai arti tunggal yaitu rumah, satu kata ini tidak cukup untuk memahamkan lawan bicara kita, begitu juga jika kita hanya menggunakan kata keduanya saja yaitu 'جَمِيْلٌ/bagus', pasti memunculkan pertanyaan, apa yang bagus? siapa yang bagus? apanya yang bagus?. Maka dari itu kita gabungkan kedua kata tersebut sesuai tata Bahasa Arab yang benar maka menjadi 'البَيْتُ جَمِيْلٌ' 'Rumah itu bagus', dengan begitu kita sudah paham secara sempurna dan kalimat tersebut menambah informasi berfaidah yang sempurna bahwa 'Rumah itu lah yang bagus'. Begitu juga dengan contoh-contoh kalimat selanjutnya.

Sampai sini kita paham bahwa hanya satu kata saja itu tidak cukup untuk berkomunikasi, tapi butuh susunan dua kata atau lebih sampai membuat orang yang mendengarkan itu mendapatkan informasi penting yang lengkap dan utuh.

Adapun contoh kata:
قُمْ        'Berdirilah!'
إجْلِسْ   'Duduklah!'
تَكَلَّمْ      'Bicaralah!'
yang secara dhohir kata-kata di atas hanyalah sendirian atau tunggal, tapi sebenarnya kata di atas sudah cukup memahamkan kepada lawan bicara, karena sebenarnya kata-kata di atas tidaklah hanya tersusun dari satu kata saja, melainkan sebenernya kata-kata di atas adalah kalimat yang tersusun dari dua kata, salah satu di antaranya terucap, contoh pada kata di atas 'قُمْ', kata tersebut terucap tapi yang tidak terucap adalah kata 'انْتَ/kamu' yang dipahami oleh pendengar dari percakapan tersirat walaupun tidak diucapkan.



Kaidahnya:


  1. Susunan yang memberikan pemahaman secara sempurna atau informasi berfaidah yang utuh adalah jumlah [kalimat] mufidah [bermanfaat], dan disebut juga dengan kalam.
  2. kalimat yang mufidah terkadang tersusun dari dua kata, bahkan terkadang juga tersususun lebih dari dua kata, dan setiap kata yang ada pada kalimat tersebut adalah bagian dari kalimat itu sendiri.


Demikianlah penjelasan singkat tentang jumlah mufidah dalam Ilmu Nahwu, penejalasan di atas saya ambil dari kitab Nahwu Wadhih juz 1, temen-temen bisa download kitabnya dengan klik link di bawah ini:





Referensi:
  • Kitab Nahwu Wadhih