Sebelum membaca postingan tentang Mubtada dan Khobar ini, ada baiknya teman-teman buka postingan saya tentang jumlah ismiyah dan jumlah fi'liyah. Karena ada kaitan yang sangat fundamental yaitu kalimat (الجملة) dalam bahasa Arab terdiri dari dua macam, yaitu Jumlah ismiyah (الجملة الاسمية) adalah kalimat yang didahului oleh isim (kata benda) dan setiap isim yang berada di awal kalimat tersebut dinamakan mubtada dan bagian yang melengkapinya dinamakan Khabar yang mana hukumnya dalam I’rab harus mengikuti kepada mubtada. Dan Jumlah Fi’liyah (الجملة الفعلية) yaitu kalimat yang didahului oleh fi’il (kata kerja).
Dengan mengetahui dua pembagian di atas, tentu akan mempermudah teman-teman dalam memahami tentang mubtada dan khobar, dan dalam kesempatan kali ini kita akan membahas secara garis besar tentang mubtada dan khabar yang sekiranya akan semakin membantu dalam mempelajari bahasa Arab.
1. Mubtada (المبتدأ)
Mubtada secara bahasa artinya adalah 'yang berada di awal' sedangkan secara istilah mubtada adalah setiap isim (kata benda) yang berada pada awal kalimat, contoh:
ٌمُحَمَّدٌ مُبْتَسِم "Muhammad tersenyum"
Dan hukum isim yang dimulai pada awal kalimat tersebut (المبتدأ) adalah Marfu’ (dibaca akhir katanya dengan harakah dhamma), kecuali apabila isim tersebut didahului oleh huruf Jarr tambahan atau yang menyerupainya maka hukumnya secara Lafadznya adalah Majrur namun kedudukannya dalam kalimat tetaplah Marfu’. Contohnya firman Allah SWT :
وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلَّا اللَّهُ "Tidak ada Tuhan selain Allah"
kata Ilah pada ayat tersebut secara lafadza adalah majrur (dibaca jar dengan kasroh) namun kedudukannya tetaplah Rafa’ dan sebagai mubtada.
Dan Mubtada terbagi menjadi dua, yaitu:
Pertama, Mubtada Sharih/Mubtada yang jelas (مبتدأ صريح) yang mencakup semua isim dhahir (kata benda yang nampak) contoh:
زَيْدٌ قَائِمٌ "Zaid berdiri"
dan juga terdiri dari isim dhamir (kata ganti), contohnya:
ٌهُوَ مُجْتَهِد "Dia bersungguh-sungguh"
ٌأَنْتَ مُخْلِص "Kamu ikhlas"
Kedua, adalah Mubtada Muawwal (مؤول) dari An (أن) dan fi’ilnya, maksudnya adalah mubtada yang terdiri dari أنْ + فعل maka jadilah masdar muawwal atau fi'il (kata kerja) yang mempunyai kedudukan seperti isim (kata benda), nah karena fi'il berawalan أن ini sudah mempunyai kedudukan seperti isim maka dia berhak menjadi mubtada yang mana syarat utamanya mubtada adalah harus berupa isim (kata benda), contoh mubtada muawwal sebagaimana firman Allah SWT:
ْوَأَنْ تَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَكُم "Dan berpuasa lebih baik bagimu
mubtada pada contoh di atas adalah أنْ تَصُوْمُوْا , yang mana ان dan تصوموا tersebut sudah menjadi masdar muawwal dan mempunyai kedudukan sama seperti isim (kata benda). maka kata :
أَنْ تَصُوْمُوْا sama saja dengan صِيَامُكُمْ
Hukum Mubtada
Asal dari Mubtada adalah Ma’rifah (Mar'rifah : kata khusus/sudah diketahui, contoh nama orang yang sudah pasti tertuju pada orang tersebut, atau benda yang kemasukan alif lam contoh الكِتَابُ maka maksudnya adalah 'buku itu', langsung tertuju pada benda yang khusus) atau mubtada haruslah isim yang ma’rifah sebagaimana pada contoh-contoh di atas, kecuali apabila didahului oleh nafyu (kata negatif) atau istifham (kata tanya) maka boleh mubtada itu nakirah (kata umum/contoh 'seseorang' tidak diketahui siapa orangnya, masih sangat umum, atau benda yang tidak kemasukan alif lam 'كِتَابٌ' 'sebuah buku' maka masih sangat umum) dengan catatan kenakirahannya tidaklah mengurangi dan mempengaruhi makna yang dapat diperincikan sebagai berikut:
a. Nakirah tersebut menunjukkan kekhususan baik dengan menyebutkan sifat atau tidak, ataupun nakirah tersebut secara lafadznya bersandar pada ma’rifat, contohnya:
(رجيل عندنا) dan contoh yang idhaf (خمس صلوات كتبهن الله على العباد)
b. Nakirah yang menunjukkan pada sesuatu yang umum, baik mubtadanya adalah bentuk yang umum, contohnya ( ُمَنْ يَقُمْ أَقُمْ مَعَه 'barangsiapa yang berdiri, maka saya berdiri bersamanya'), kata man di sini adalah bentuk nakirah yang umum. Maupun mubtada yang nakirah tersebut terletak dalam kalimat yang didahului oleh nafyu (kata negatif) atau istifham (kata tanya), contohnya :
(ِمَا رَجُلٌ فِي الدَّار 'tidak ada seorang lelaki di dalam rumah') dan ( هَلْ أحَدٌ قَادِمٌ 'adakah seseorang yang datang?').
c. Mubtada yang nakirah (umum) haruslah didahului oleh kalimat yang terdiri dari jar majrurr atau dharf, contohnya (َفِي الْمَدْرَسَةِ زَائِرُوْن), mubtada di sini adalah nakirah (umum) karena di dahului oleh jar majrur, dan (ٌحَوْلَ البِئْرِ أَشْجَار), kata asyjar adalah nakirah (umum) karena didahului oleh dzharf makaan (kata yang menyebutkan tempat).
d. Nakirah harus Athaf (mengikuti) pada ma’rifah atau diikutkan pada ma’rifah, contohnya:
(مُحَمَّدٌ وَ رَجُلٌ عِنْدَنَا) kata rajul di sini nakirah (kata umum) karena ikut pada Muhammad.
dan (ِرَجُلٌ وَ يُوْسُفُ فِي المَنْزِل) kata rajul diikutkan pada yusuf.
e. Mubtada yang nakirah (umum) merupakan jawaban atas pertanyaan, contohnya, ada yang bertanya (َمَنْ عِنْدَك) maka jawabannya (ٌصَدِيْق) dengan menggunakan nakirah, takdirnya adalah
(صديق عندي).
f. Terletak setelah Laula (لولا), contoh (لولا رجل لهلك أخوك).
g. Jika khabarnya adalah sesuatu yang aneh yang keluar dari kebiasaan, contohnya
(شجرة سجدت =pohon bersujud).
Apabila kita melihat dari contoh-contoh di atas dapat dilihat perbedaan kedudukan mubtada yang kadang didahulukan (mubtada muqaddam) dan kadang diakhirkan (mubtada muakkhar), kesemuanya itu mempunyai aturan yang wajib didahulukan maupun boleh didahulukan.
Wajib mendahulukan Mubtada
Mubtada itu wajib didahulukan apabila:
1. Isim yang mempunyai kedudukan sebagai pendahuluan di dalam kalimat, seperti isim syarat, atau istifham atau Ma yang menunjukkan ketakjuban, contohnya (من يقرأ الشعر ينم ثروته اللغوية =barangsiapa yang membaca syair maka akan bertambah kekayaannya dengan bahasa), kata Man di sini adalah mubtada yang harus di dahulukan karena posisinya dalam kalimat sebagai pembukaan dan pendahuluan, contoh lain (من مسافر غدا =siapakah yang akan bepergian besok), kata man di sini adalah kata Tanya yang harus selalu didahulukan dan ia adalah mubtada, contoh lain (ما أجمل الربيع =alangkah indahnya musim semi) Kata Ma disini adalah Ma takjub yang mana harus dan wajib didahulukan.
2. Mubtada yang menyerupai isim syarat, contohnya (الذي يفوزُ فله جائزة =yang menang maka baginya piala), kata allazi dalam kalimat ini menyerupai isim syarat.
3. Isim tersebut haruslah disandarkan kepada isim yang menempati posisi dan kedudukan kata pendahuluan, contohnya (عمل من أعجبك) kata ‘amal disandarkan pada Man yang kedudukannya sebagai pendahuluan.
4. Apabila khabarnya adalah jumlah fi’liyah dan fa’ilnya adalah dhamir yang tersembunyi yang kembali kepada mubtada, contohnya (محمد يلعب الكرة =Muhammad bermain bola) kata yal’ab adalah khabar jumlah fi’liyah dan fa’ilnya dhamir tersembunyi kembali ke Muhammad.
5. Isim tersebut haruslah disertai dengan huruf Lam untuk memulai atau Lam tauwkid, contoh (وللدار الآخرة خير للذين يتقون) kata addar dimasuki oleh lam ibtida, dan (ولذكر الله أكبر) dimasuki lam tawkid.
6. Mubtada dan khabarnya adalah Ma’rifat atau kedua-duanya nakirah dan tidak adanya kata yang menjelaskannya, contohnya (أبوك محمد) jika ingin memberitahukan tentang bapaknya maka wajib didahulukannya, dan (محمد أبوك) jika ingin memberitahukan tentang Muhammad.
7. Mubtada teringkas khabarnya oleh Illa atau Innama, contohnya (ما الصدق إلا فضيلة) dan (إنما أنت مهذب).
Selain dari tujuh masalah di atas, maka boleh mendahulukan atau mengakhirkan mubtada.
Wajib menghilangkan Mubtada
Mubtada wajib dihilangkan dalam hal-hal sebagai berikut:
1. Apabila mubtada ikut kepada Sifat yang marfu’ dengan tujuan memuji atau menghina atau sebagai rasa iba dan saying, contohnya (مررت بزيدٍ الكريمُ) mubtadanya dihilangkan karena disifati oleh sifat yang rafa’, asalnya adalah (هو الكريم). Contoh lain (ابتعد عن اللئيم الخبيث =jauhilah dari orang jahat yang jelek sifatnya), asalnya adalah (هو الخبيث) mubtada nya wajib dihilangkan karena disifati oleh sifat yang marfu”.
2. Jika menunjukkan jawaban terhadap sumpah, contohnya (في ذمتي لأقولن الصدق) asalnya adalah (في ذمتي عهد) dengan menghilangkan mubtadanya yaitu ‘ahd.
3. Jika khabarnya adalah mashdar yang mengganti fi’ilnya, contohnya (صبر جميل) asalnya adalah (صبري صبر جمل) maka wajib menghilangkan mubtadanya.
4. Jika khabarnya dikhususkan pada pujian atau cercaan setelah kata Ni’ma (نعم) dan Bi’sa (بئس) dan terletak diakhir, contohnya (نعم الطالب محمد =alangkah baiknya pelajar yaitu Muhammad) dan (بئس الطالب الكسول =alangkah buruknya pelajar yang pemalas), muhammad dan kusul pada contoh di atas adalah khabar dari mubtada yang dihilangkan, asalny adalah (هو محمد) dan (هو الكسول).
Selain dari empat masalah ini, mubtada juga kebanyakan dihilangkan jika terletak setelah kata qaul (berkata), contohnya (ويقولون طاعة) mubtadanya dihilangkan, asalnya adalah (أمرنا طاعة), contoh lain, (قالوا أضغات أحلام) dan (وقالت عجوز عقيم) asalnya adalah (هي أضغات) dan (أنا عجوز). Atau mubtadanya terletak setelah Fa sebagai jawban dari syarat, contohnya (وإن يخالطوهم فإخوانكم) asalnya adalah (فهم إخوانكم).
Boleh menghilangkan Mubtada
Mubtada boleh dihilangkan dan dihapus sebagai jawaban atas pertanyaan orang yang bertanya (كيف محمد)?, dan jawabnya (بخير) aslinya adalah (هو بخير), atau Mubtada itu boleh dihilangkan apabila ada kalimat atau kata yang menunjukkan tentangnya, contohnya firman Allah SWT (من عمل صالحا فلنفسه ومن أساء فعليها) kata Falinafsihi kedudukannya rafa’ khabar dan dhamir Ha majrur bil idhafah sedangkan mubtadanya mahzuf (dihilangkan) begitu juga pada wa man asaa fa’alaiha, asalnya adalah (من عمل صالحا فعمله لنفسه) dan (ومن أساء فإساءته عليها).
Dan boleh juga menghilangkan Mubtada dan khabarnya apabila ada dalil yang menunjukkan kepadanya, contohnya (الذين فازوا في مسابقة الإلقاء لهم جوائز ، والذين ساهموا أيضا) yang dihapus dari kalimat tersebut adalah mubtada dan khabarnya yaitu (لهم جوائز) aslinya haruslah (والذين ساهموا أيضا لهم جوائز) dihapus karena telah dijelaskan pada kalimat sebelumnya.
Khabar (الخبر)
Sebagaimana telah dijelaskan di atas mengenai Jumlah Ismiah (الجملة الاسمية) yang terdiri dari dua bagian yang memberikan petunjuk serta pemahaman kepada pendengar agar diterima. Para pakar Nahwu menyebut bagian pertama dari jumlah ismiah ini dengan Mubtada karena ia adalah bagian yang dimulai dalam pembicaraan, sedangkan bagian keduanya dinamakan Khabar karena ia memberitahukan keadaan yang ada pada mubtada, dan bisa saja terdiri dari segala bentuk sifat baik ia isim fa’il, atau maf’ul ataupun tafdhil, contohnya, (محمد فاضل) dan (علي محبوب).
Hukum Khabar
Para ahli nahwu menyebutkan hukum dari pada khabar adalah sebagai berikut:
1. Wajib merafa’ (memberi harakah dhamma) khabar, penyebab khabar itu marfu’adalah mubtada , contohnya (أنت كريم) Karim adalah khabar marfu’disebabkan oleh mubtada. Contoh lain (والصلح خير) Khair khabar mubtada marfu’.
2. Khabar pada dasarnya haruslah nakirah, contohnya (محمد فاضل) fadhil adalah nakirah dan ia khabar mubtada.
3. Khabar haruslah disesuaikan atau ikut kepada mubtada dari segi tunggalnya atau tasniyah (bentuk duanya) ataupun jamak, contoh (الطالب متفوق), (الطالبان متفوقان), dan (الطلاب متفوقون).
4. Boleh menghilangkan khabarnya apabila ada dalil yang menunjukkan kepadanya, dan masalah ini nanti akan dibahas pada pembahasannya.
5. Wajib menghilangkan khabarnya, masalh ini pun akan dibahas nanti pada pembahasannya.
6. Khabar boleh banyak dan beragam sedangkan mubtadanya hanya satu, contohnya (محمد ذكي فطن) zakiyun dan fithn adalah khabar mubtada, contoh lain (أحمد شاعر خطيب كاتب).
7. Boleh dan wajib didahulukan khabar dari pada mubtada, dan pembahasan ini pun akan di bahas pada pembahasannya.
Macam-macam Khabar
Khabar terbagi menjadi tiga, yaitu:
1. Khabar Mufrad (المفرد) yaitu khabar yang bukan berbentuk kalimat atau yang menyerupai kalimat, akan tetapi terdiri dari satu kata baik menunjukkan pada tunggal atau mutsanna (bentuk dua) ataupun jamak, dan harus disesuaikan dengan Mubtada dalam pentazkiran (berbentuk muzakkarf=lk) atau ta’nis juga dalam bentuk tunggal, mutsanna dan jamak. Contoh (القمر منير =bulan bersinar), (الطالبة مؤدبة =pelajar pr itu sopan).
2. Khabar Jumlah (جملة), yaitu khabar yang berbentuk kalimat baik jumlah ismiah (اسمية) maupun fi’liyah (فعليه). Contoh khabar jumlah ismiah (الحديقة أشجارها خضراء =taman itu pepohonannya berwarna hijau) atau (الثوب لونه ناصع =pakaian itu warnanya bersih), Atsaub =adalah mubtada pertama, Lawn=Mubtada kedua dan mudhaf, dhamir Hu=mudhaf ilaih, Nashi’=khabar mubtada kedua, Jumlah dari mubtada kedua dan khabarnya menempati posisi rafa’ yaitu khabar dari mubtada pertama. Adapaun contoh khabar mubtada dari jumlah fi’liyah, (الأطفال يلعبون في الحديقة =anak-anak bermain di taman) yal’abun adalah fi’il mudhari’marfu’karena khabar mubtada yang berbentuk jumlah fi’liyah. Khabar jumlah baik ismiah maupun fi’liyah haruslah berhubungan dengan mubtada.
3. Khabar syibhu jumlah (شبه الجملة) yaitu khabar yang bukan mufrad atau jumlah akan tetapi menyerupai jumlah, terdiri dari Jarr wal majrur (جار ومجرور) dan dharf =kata keterangan,(ظرف). Contoh khabar dari jar wal majrur (الكتاب في الحقيبة =buku di dalam tas), (الماء في الإبريق =air di dalam teko). Contoh khabar dari dharf makan (keterangan tempat), (الجنة تحت أقدام الأمهات =surga dibawah telapak kaki ibu), (الطائر فوق الشجرة =burung di atas pohon), contoh dharf zaman (keterangan waktu), (الرحلة يومَ الخميس =bepergian pada hari kamis), (السفر بعد أسبوع =akan bepergian setelah seminggu).
Wajib mendahulukan Khabar
Khabar wajib di dahulukan dari mubtada dalam keadaan sebagai berikut:
1. Apabila mubtada nya adalah isim nakirah yang semata-mata tidak untuk memberitahukan dan khabarnya adalah jar wal majrur atau dharf, contohnya (في المدرسة معلمون =di sekolah ada para guru), (عندنا ضيف =ada tamu). Jika mubtadanya nakirah dengan maksud untuk memberitahukan maka hukumnya boleh didahulukan atau pada tempatnya semula, contohnya (صديق قديم عندنا).
2. Jika khabarnya adalah istifham (kata Tanya) atau disandarkan pada kata Tanya, contohnya (كيف حالك =bagaimana kabarmu), (ابن من هذا =anak siapa ini) atau (أي ساعة السفر =jam berapa perginya).
3. Apabila ada dhamir yang berhubungan atau bergandengan dengan mubtada sedangkan kembalinya dhamir tersebut kepada khabarnya atau sebagian dari khabarnya, contohnya, (في المدرسة طلابها =di sekolah ada murid-murid-nya), (في الحديقة أطفالها =di tama nada anak-anak-nya), dhamir yang ada pada mubtada kembali kepada khabarnya.
4. Meringkas khabar mubtada dengan Illa (إلا) atau Innama (إنما), contohnya, (ما فائز إلا محمد =tiada yang menang kecuali Muhammad), (إنما فائز محمد =yang menang adalah Muhammad), dalam contoh ini kata faiz diringkas atau dipendekkan sebagai sifat dari Muhammad.
Boleh mendahulukan atau mengakhirkan khabar apabila khabarnya sebagai pengkhususan setelah kata Ni’ (نعم) ma dan Bi’sa (بئس), contohnya (نعم الرجل محمد =alangkah baiknya lelaki itu muhammad), (بئس العمل الخيانة =alangkah buruknya perbuatan khianat), Muhammad di sini bisa saja mubtada muakkhar dan jumlah fi’liyah sebelumnya adalah khabar muqaddam, dan bisa saja mubtadanya dihilangkan dan Muhammad di sini adalah khabarnya, karena apabila pengkhususan setelah ni’ ma dan bi’ sa didahulukan atas fi’ilnya maka ia adalah mubtada dan jumlah fi’liyahnya adalah khabar muakhhar oleh sebab itu boleh didahulukan atau diakhirkan.
Boleh menghilangkan Khabar
Khabar boleh dihilangkan apabila terletak setelah Iza al fajaiyah (tiba-tiba), contohnya (خرجت فإذا الأسد =saya keluar tiba tiba ada harimau), (وصلت فإذا المطر =saya sampai tiba-tiba hujan), khabarnya dihilangkan, asli dari kalimat tersebut adalah (إذا الأسد حاضر) dan (فإذا المطر منهمر). Apabila ada dalil yang menjelaskannya maka khabar pun boleh dihilangkan, yang dapat ditemukan pada jawaban dari pertanyaan, misalanya ada yang bertanya (من غائب =siapa yang alpa?), jawabannya (عليّ) dengan menghapus khabarnya yaitu (عليّ غائب) karena telah dijelaskan pada pertanyaannya. Dan apabila jumlah ismiah mengikuti (athf) pada jumlah ismiah yang tidak dihilangkan khabarnya, maka boleh menghilangkan khabar pada jumlah ismiah yang ma’thuf, contohnya (محمد مجتهد وأحمد =muhammad rajin dan ahmad juga), asal dari kalimat di atas (وأحمد مجتهد), dihilangkan khabar jumlah ismiah yang ma’tuf karena telah dijelaskan pada sebelumnya.
Wajib menghilangkan Khabar
Adapun tempat-tempat dimana khabar itu wajib dihilangkan adalah sebagai berikut:
1. apabila mubtadanya adalah isim yang sharih yang menunjukkan pada sumpah, contohnya (لعمرك لأشهدن الحق =demi hidupmu saya bersaksi dengan kebenaran), khabarnya wajib dihilangkan, asalnya adalah (لعمرك قسمي).
2. Khabarnya menunjukkan pada sifat yang mutlak artinya sifat tersebut menunjukkan akan keberadaan dari sesuatu, dan hal itu terdapat pada kata yang bergandengan dengan jar majrur atau dharf, contohnya (الماء في الإبريق =air berada di dalam teko), (الكتاب فوق المكتب =buku berada di atas meja), yang menunjukkan khabarnya telah dihilangkan yaitu (موجود). Dan apabila mubtadanya terletak setelah Lau la (لولا) maka khabarnya yang berarti keberadaan pun wajib dihilangkan, contohnya (لولا الله لصدمت السيارة الطفل =jika tidak ada Allah, maka mobil akan menabrak anak itu), khabar yang dihilangkan adalah kata (موجود) pada contoh ini.
3. Jika mubtadanya adalah mashdar atau isim tafdhil yang disandarkan pada mashdar dan setelahnya bukanlah khabar melainkan hal yang menduduki tempatnya khabar, contohnya (تشجيعي الطالب متفوقا =saya mendukung pelajar yang berprestasi), (: أفضل صلاة العبد خاشعا =sebaik-baik shalatnya sorang hamba dalam keadaan khusu’) asalnya adalah (أفضل صلاة العبد عند خشوعه).
4. Khabarnya terletak setelah huruf Wau (واو) yang berarti dengan/bersama (مع), contohnya, (كل طالب وزميله =semua pelajar bersama kawanya), wau di sini berarti bersama sehingga khabarnya dihilangkan, dan khabar yang dihilangkan adalah kata (مقرونان).
Kesimpulan dan Perhatian
1. Asal dari pada mubtada adalah ma’rifah sedangkan khabar adalah Nakirah, contohnya (الطلاب متفوقون), namun kadang ada mubtada datang dalam bentuk ma’rifat dan khabarnya pun ma’rifat, contohnya (الله ربنا) dan (محمد نبينا) mubtadanya ma’rifah dan khabarnya pun ma’rifah karena idhafah. Contoh lain (والسابقون السابقون) assabiqun yang pertama adalah mubtada dan yang kedua adalah khabarnya, sama dengan (أنت أنت), terdiri dari mubtada dan khabar, tapi bisa juga assabiqun dan anta yang kedua adalah taukid (menegaskan) pada yang pertama.
2. Jika mubtadanya adalah mashdar marfu’, maka mubtadanya boleh didahulukan, contohnya (سلام عليكم).
3. Asal dari khabar mubtada adalah satu, namun boleh saja khabar terhadap mubtada menjadi banyak, contohnya (محمد شاعر كاتب قاص) kata penyair, penulis dan penulis kisah semuanya adalah khabar dari mubtada yang menunjukkan bolehnya ta’addud khabar terhadap mubtada.
4. Haruslah memperhatikan pnyesuaian antara khabar dan mubtada, sebagaimana yang telah disebutkan pada hukum-hukum khabar di atas, akan tetapi ada sebagian ayat-ayat Al Quran yang membingungkan dan menimbulkan kesan bertentangan dengan hukum penyesuaian tersebut, padahal jika dilihat dengan seksama ternyata semua itu ada kesesuaian antar keduanya.
5. Khabar yang terdiri dari jarr dan majrur atau dharf pada dasarnya bukanlah khabar, melainkan ia berhubungan dengan kata yang dihilangkan, dan kata yang dihilangkan tersebutlah yang marfu’ yang menunjukkan ia adalah khabar, contohnya, (الماء في الإبريق) jarr majrur di sini hanyalah berhubungan dengan kata yang dihilangkan yaitu khabar mubtada, takdirnya adalah (كائن) atau (موجود).
6. Khabar mufrad boleh diikutkan (athaf) kepada khabar jarr majrur, contohnya (فهي كالحجارة أو اشد قسوة) aysaddu qaswah khabar yang diathafkan pada jar majrur yaitu kal hijarah.
7. Boleh memisahkan antara mubtada dan khabar, contohnya (وهم بالآخرة هم يوقنون), kata hum adalah mubtada, dan yuqinun adalah khabarnya, dipisahkan oleh jar majrur yang berkaitan dengan khabarnya yaitu yuqinun.
Nice
ReplyDeleteThanks
ReplyDeleteLengkap banget 🤣
ReplyDelete