Contact Us - Privacy Policy - Disclaimer - Terms of Service - About

Pengertian Afalut Tafdhil (أفعال التفضيل) Besarta Contohnya

Pengertian Afalut Tafdhil (أفعال التفضيل) Besarta Contohnya

صُغْ مِنْ مَصُوغ مِنْهُ للتَّعَجُّبِ ¤ أَفْعَلَ للتَّفْضِيلِ وَأْبَ اللَّذْ أبِي
Bentuklah lafazh yang boleh dibentuk Fi’il Ta’ajjub kepada format Isim Tafdhil “AF’ALA”. dan tinggalkan lafadz yang tidak diperbolehkan


1. PENGERTIAN AF’AL TAFDHIL
Ø كل ما دل على زيادة تفضيلا كان او نقيصا
“Setiap fi’il yang menunjukan untuk menambahnya sesuatu atau menguranginya”
Contoh : العَسَلُ أَحْلَى مِنَ الخَل (Madu tersebut lebih manis dari pada cuka)


2. SYARAT AF'ALUT TAFDHIL
Syarat menciptakan fi'il tafdhil tersebut sama dengan kriteria menciptakan shighot ta’adjjub yaitu:
Ø Fi’ilnya tsulasi mujarod
Ø Mutashorif
Ø Bisa menunjukkan makna lebih
Ø Fi’ilnya tam
Ø Isim sifatnya tidak berwazan افعل
Ø Tidak dinafikan
Ø Tidak mabni majhul
Sedangkan fi’il yang tidak dapat dijadikan af’alul tafdhil sebab kurang kriteria maka mesti menyebabkan lafad الشر، اشدdan sepertinya, contoh: انشم اكشر استغفار لربكم (Kalian lebih tidak sedikit baca istighfar untuk tuhan kalian)



3. PEMBAGIAN AF’AAL TAFDHIL
Ø Dari segi lafadz
1. ( في بابه ) Apabila afal tafdhil di ikuti dengan huruf “min” ( من) setelahnya misal : زيد احسن من عمرو

2. ( في غير بابه ) Apabila afal tafdhil tidak di ikuti dengan huruf “min” ( من) setelahnya misal : والله اعلم
Ø Dari segi ma’na
1. ( في بابه ) yaitu saat isim tafdhil memiliki man’na unggul/mengunggulkan

2. ( في غير بابه ) yaitu saat isim tafdhil memiliki ma’na yang sama dengan isim fa’il


4. KEADAAN AF’AL TAFDHIL
1. ان يكون مجردا من "ال" والاضافة ( Harus tanpa memakai alif lam dan idhofat)
Contoh : زيد افضل من عمرو
2. ان يكون محلا بال ( Harus disertai alif lam)
Contoh : زيد الافضل القوم
3. ان يكون مضافا الى النكرة ( Harus di idhopatkan untuk isim nakiroh )
Contoh : زيد افضل رجلٍ
4. ان يكون مضافا الى المعرفة ( Harus di idhopatkan untuk isim ma’rifat )
Contoh : زيد افضل القوم

5. HUKUM AF’AL TAFDHIL
Ø (قياسى) Ketika isim tafdhil merujuk pada wazan افعل
Ø شد دائما Yaitu lafadz خيرٌ dan lafadz شرٌ

قليلا Yaitu lafadz حبَّ asalnya lafadzd احبّ

6. PEKERJAAN AFAL TAFDHIL
Ø (نزراً ) Langka
Yaitu saat Af’al tafdhil merofa’kan isim dzohir,tapi tidak merubah failnya
Contoh : زيد افضل ابوه
Ø (كثيراً ) Banyak
Yaitu saat af’al tafdhil meropa’kan isim dzomir
Contoh : زيد افضل من بكرٍ
Ø (محلاً ) Mahal/ tempat
Yaitu saat Af’al tafdhil menashabkan tapi status jar-nya, memakai huruf jar. Contoh : هو اقرب للتقوى



KESIMPULAN
Isim tafdhil ialah isim yang diciptakan untik menunjukkan makna lebih diantara dua hal, isim tafdhil melulu dapat merofa’kkan isim dhohir. Wazannya itu melulu ada satu yakni افعل, sementara syarat pembuatannya ialah sama dengan kriteria penciptaan sighot ta’jub.
Isim tafdhil tersebut identitasnya dengan al dan idhofah, andai sunyi dari tersebut maka mesti diperbanyak من مفاضلةdan andai sunyi dari al idhofah maka isim tafdhil tersebut harus menetapi mufrod mudzakar dan andai yang dimufrodi tersebut isim nasyiroh maka boleh wajah dua yakni menetapi mufrod mudzakar dan mencocoki dengan lafadz sebelumnya.

MANSHUBATUL ASMA - منصوبات الأسماء (Isim-isim yang Dibaca Nashob) dalam Ilmu Nahwu

MANSHUBATUL ASMA  'منصوبات الأسماء' (Isim-isim yang Dibaca Nashob) dalam Ilmu Nahwu

Nashob ialah  keadaan dimana sebuah  kata dibaca dengan harokat Fathah [hukum asli], Kasroh ataupun di akhir kata ada  huruf Alif, Yaa, atau dibuangnya Nun (Khadzfu Nuun), yang adalah tanda-tanda nashob itu  sendiri. (baca lebih mendetail  tentang Nashob dan tanda-tandanya di sini: Tanda-tanda I'rob Nashob (عَلَامَاتُ النَّصْبِ) dalam Ilmu Nahwu

Adapun isim-isim yang dibaca Nashob terdapat 12 posisi:
1. Maf'ul Bih (مفعول به)
2. Maf'ul Fiih (مفعول فيه)
3. Maf'ul Ma'ah (مفعول معه)'
4. Maf'ul Muthlaq (مفعول المطلق)
5. Maf'ul Liajlih (مفعول لأجله)
6. Haal (حال)
7. Tamyiiz (التمييز)
8. Mustatsna (مستثنى)
9. Khobar Kaana wa Akhwatuha (خبر كان و أخواتها)
10. Isim Inna wa Akhwatuha (اسم إنّ وأخواتها)
11. Munada (المنادى)
12. Tawaabi' lil Manshub/pengikut dari yang di-Nashob-kan, yakni  ada empat :


1. Maf'ul Bih (مفعول به)

isim manshub (yang dibaca nashob) yang menjadi sasaran tindakan  (objek).

Maka, jelas sekali, yang dimaksud maf’ul bih menurut arti istilah ialah  isim manshub dimana posisinya menjadi sasaran tindakan  si pelaku.

Contoh :

قَرَأْتُ كِتَابًا = Aku sudah  membaca Buku

Dalam misal  di atas, yang menjadi sasarn perbuatannya (memukul) ialah  kata “kitaaban”, maka kata tersebut  menjadi maf’ul bih.


Baca Selengkapnya tentang Maf'ul Bih di sini.

2. Maf'ul Fiih (مفعول فيه)

Maf’ul Fiih/ Zharaf ialah  isim Manshub yang menyatakan  tempat atau masa-masa  terjadinya sebuah  perbuatan/pekerjaan.

Maf’ul Fiih ialah  isim Manshub yang menyatakan  tempat atau masa-masa  terjadinya sebuah  perbuatan/pekerjaan. Atau sebagai jawaban dari pertanyaan “kapan” atau “dimana”. Disebut Zhorof Zaman bilamana  berkaitan dengan masa-masa  terjadinya perbuatan, dan dinamakan  Zhorof Makan bilamana  berkaitan dengan lokasi  terjadinya perbuatan.

Contoh :
يَلْعَبُ زَيْدٌ كُرَّةَ القَدَمِ أَمَامَ الْمَدْرَسَةِ.(ظَرْفُ الْمَكَانِ)
( Zaid bermain sepak bola di depan sekolah) “keterangan tempat”.

Baca selengkapnya tentang Maf'ul Fiih di sini.


3. Maf'ul Ma'ah (مفعول معه)'

Maf’ul Ma’ah مَفْعُوْلُ مَعَهُ merupakan   isim manshub yang terletak sesudah  huruf   Wau (و). Akan tetapi, wau itu  tidak bermakna DAN (kata sambung). Melainkan mempunayi makna  bersama atau kebersamaan. Maka dari itulah Maf'ul Ma'ah pun  disebut Wau Ma'iyyah, sampai-sampai  wawu maiyah pengertiannya sama saja dengan Maf'ul Ma'ah.

Contoh: سِرْتُ وَالْجَبَلَ (Aku berjalan bareng  gunung). Kata الْجَبَلَ dibaca manshub dengan berharokat fathah sebab  sebagai maf'ul ma'ah dalam format  isim mufrod. Contoh lain:
جَاءَ الأمُّ وَوَلَدُهَا وَغُرُوْبَ الشَّمْسِ  > "Seorang Ibu dan Anaknya datang bersamaan dengan terbenamnya matahari"
إسْتَيْقَظَ زَيْدٌ وَتَغْرِيْدَ الطُّيُوْرِ > "Zaid bangun bersamaan dengan burung berkicau"
رَجَعَ زَيْدٌ وَطُلُوْعَ الْفَجْرِ > "Zaid pulang bersamaan dengan terbitnya fajar"

Baca Selengkapnya tentang Maf'ul Ma'ah di sini.

4. Maf'ul Muthlaq (مفعول المطلق)

Maf’ul Muthlaq ialah  isim atau kata benda yang dibaca nashob yang berada pada urutan yang ketiga dari tashrifannya fi’il, maf'ul muthlaq juga isim yang dibaca nashob dan bertujuan untuk penegasan dan penjelasan jenis serta jumlah perbuatannya.
Contoh :
ضَرَبَ يَضْرِبُ ضَرْبًا, أكْرَمَ يُكْرِمُ إكْرَامًا,
Dari pengertian  maf’ul muthlaq itu  member kepahaman bahwa :
1. Maf’ul muthlaq berupa kalimat isim
2. Maf'ul muthlaq bertujuan untuk penegasan, penjelas dari fi'il (baik jenis maupun jumlah pekerjaannya)
3. Dibaca nashob dan dinashobkan oleh amil. Adapun amil yang menashobkan maf’ul muthlaq yaitu :
  • Fi’il taam yang mutashorrif: kata kerja sempurna yang dapat ditashrif (maksudnya bukan fi’il naqhis dan fi’il jamid )
    ضَرَبْتُ كَلْبًا ضَرْبَتَيْنِ
    Aku memukul Anjing dengan dua kali pukulan
  • Mashdar
    عَحِبْتُ مِنْ ضَرْبِكَ ضَرْبًا شَدِيْدًا
    Aku terkejut atas pukulanmu dengan pukulan yang keras
  • Isim sifat
    أنَا ضَارِبُ زَيْدٍ ضرْبَ أبِيْهِ
    Aku memukul Zaid seperti pukulan ayahnya
4. Maf’ul muthlaq tercipta  dari mashdar yang adalah urutan ketiga dari tashrifnya fi’il.

Maf'ul Mutlaq ialah  isim manshub yang dilafalkan  untuk 3 keadaan:
  • Untuk menegaskan sebuah  perbuatan
  • Untuk menyatakan  bilangan perbuatan
  • Untuk menyatakan  jenis/sifat perbuatan

Baca selengkapnya di sini.

5. Maf'ul Liajlih (مفعول لأجله)

Maf’ul liajlih ialah  Isim yang dibaca nashob yang bermanfaat  untuk menyatakan  sebab atau motif terjadinya perbuatan.
Contoh:

جَلَسْتُ عَلَى الكُرْسِيِّ تَعْبًا
(Aku duduk di atas kursi karena lelah)

رَجَعْتُ إِلَى البَيْتِ شَوْقًا لِلْأسْرَةِ
(Aku pulang ke rumah karena kangen dengan keluarga)

أكَلْتُ الطَعَامَ جَوْعًا
(Aku memakan makanan karena lapar)

أذهَبُ إِلَى الْمَدْرَسَةِ رَغْبَةً فِيْ الْعِلْمِ
( Aku berangkat ke sekolah sebab  mencintai Ilmu)

ضَرَبْتُ الْوَلَدَ تَأْدِيْبًا لَهُ
( Aku memukul anak tersebut  karena bermaksud guna  mendidiknya)

Penjelasan :

kata 'mendidik', 'cinta', 'lelah', 'lapar', dan 'rindu' adalah menjadi Maf’ul Li Ajlih,  hukumnya Nashob dan tanda Nashob nya adalah Fathah.

Baca Selengkapnya di sini.

6. Haal (حال)

Haal ialah  isim Manshub yang menyatakan  keterangan suasana  yang samar. Adakalanya menjelaskan suasana  fa’il. Seperti dalam misal  :

جَاءَ زَيْدٌ رَاكِبًا = Zaid sudah  datang sambil  berkendara

Lafazdh رَاكِبًا berkedudukan sebagai haal dari lafazdh جَاءَ , seperti yang ada  di dalam firman Allah Swt, inilah  :

فَخَرَجَ مِنْهَا خَائِفًا = “ Maka keluarlah Musa dari kota tersebut  ( Mesir ) dengan rasa takut”. ( Al-Qashash:21).

Lafazd خَٰائِفًا berkedudukan sebagai haal dari fa’il lafazdh خَرَجَ yang menjelaskan suasana  Musa masa-masa  keluarnya.       

Atau menjelaskan suasana  maf’ul, laksana  dalam misal  :

رَكِبْتُ الفَرْسَ مُسَرَّجًا = Aku sudah  menunggang kuda sambil  berpelana.

Lafazh مُسَرَّجًا Berkedudukan sebagai haal dari maf’ul yang menjelaskan suasana  kuda waktu dipakai  angkutan di atasnya.

Baca Selengkapnya di sini.

7. Tamyiiz (التمييز)

Tamyiiz adalah sebuah kata atau lafadz yang dibaca mansub yang bermanfaat  menjelaskan isim yang samar pada suatu  kalimat. Berikut definisi  dalam buku  jurumiyah;
الاِسْمُ المَنْصُوْبُ المُفَسِّرُ لِمَا انْبَهَمَ مِنَ الذَّوَاتِ
Artinya: Tamyiz adalah isim yang dibaca nashob yang bermanfaat  menjelaskan hal-hal yang samar pada suatu  kalimat.
Sedangkan definisi  lain dari tamyiiz dalam buku  nahwu wadih merupakan
إِسْمٌ يُذْكَرُ لِبَيَانِ المُرَادِ مِنْ اسْمٍ سَابِقٍ يَصْلَحُ لِأَنْ تُرَادَ بِهِ أَشْيَاءٌ كَثِيْرَةٌ
Artinya : kata (isim) yang kegunaannya  menjelaskan maksud dari kata (isim) sebelumnya.
Contoh
- رَأَيْتُ أرْبَعَةَ عَشَرَ
Artinya : Saya menyaksikan  empat belas
- رَأَيْتُ أرْبَعَةَ عَشَرَ غَنَمًا
Artinya : Saya menyaksikan  empat belas kambing

Kalimat kesatu  pada misal  di atas masih belum jelas karena cuma  menuliskan  kata أرْبَعَةَ عَشَرَ yang dengan kata lain  empat belas dan tidak melafalkan  benda/barang yang dihitung (tamyiznya). Sehingga kalimat itu  belum terbilang kalimat yang menyeluruh  dan masih rancu. Kemudian pada misal  kedua hitungan angka أرْبَعَةَ عَشَرَ ditambahkan dengan kata غَنَمًا yang dengan kata lain  kambing,maka kalimatnya pun menjadi sempurna dan dapat dipahami  menjadi “saya menyaksikan  empat belas kambing”. Kata kambing/ghonaman  adalah tamyiz yang menyatakan  angka أرْبَعَةَ عَشَرَ yang dengan kata lain  empat belas adalah berupa kambing, kemudian  kalimat itu  menjadi menyeluruh  dan dapat  dipahami.

Baca Selengkapnya di sini.

8. Mustatsna (مستثنى)

Mustatsna’ (مستثنى ) yakni  isim manshub (yang dibaca nashob) yang terletak setelah  huruf istitsna’ untuk menyatakan  hukum yang bertolak belakang  dengan sebelumnya, bahasa gampangnya, mustatsna' ialah bab yang menerangkan kata yang yang 'dikecualikan' yang jatuh setelah huruf istitsna'. Adapun Isim yang terletak sebelum huruf   istisna’ dinamakan  mustatsna’ minhu (مستثنى منه ).
Contoh:
جاءَ الطُّلَّابُ إلاّ زَيْدًا
[ الطُّلَّابُ : مستثنى منه ،  زَيْدًا : مستثنى ].
Kata “ إلاّ “ ialah  salah satu huruf   istitsna’. Kata sebelumnya yakni  “الطُّلَّابُ “ dinamakan  mustatsna’ minhu (مستثنى منه), dan kata setelahnya “ زَيْدًا “ dinamakan  dengan mustatsna’ (مستثنى).

Baca Selengkapnya di sini.


9. Khobar Kaana wa Akhwatuha (خبر كان و أخواتها)

Kaana wa akhwatuha adalah salah satu kumpulan fi'il yang termasuk amil nawasikh, atau amil yang merusak tatanan hukum mubtada dan khobar. Berikut ini adalah Kaana dan saudara-saudaranya:
  • كَانَ 
  • بَاتَ
  • ظَلَّ
  • أَضْحَى
  • أَصْبَحَ
  • أَمْسَى
  • صَارَ
  • لَيْسَ
  • ما زَالَ
  • مَا بَرِحَ
  • ما فًتِئَ
  • مَا انْفَكَ
  • مَا دَامَ
Fungsi kaana wa akhwatuha (كان و أخواتها)

Fungsi kaana adalah تَرْفَعُ الاِسْمَ وَتَنْصِبُ الْــخَبَر "merofa'kan isim (kaana) dan menasabkan khobar (kaana)". Perhatikan contoh berikut:

Sebelum kemasukan كَانَ
مُحَمَّدٌ كَرِيْمٌ
contoh di atas adalah susunan mubtada dan khobar, mubtada: مُحَمَّدٌ, khobar: كَرِيْمٌ

Setelah kemasukan كَانَ
كَانَ مُحَمَّدٌ كَرِيْمًا
Setelah kemasukan كَانَ, maka ada perubahan istilah. Mubtada "مُحَمَّدٌ" berubah menjadi isim kaana, dan khobar menjadi khobar kaana. kita kembali pada tugas kaana wa akhwatuha bahwa kaana dan saudaranya bertugas untuk merofa'kan isim (kaana) yaitu "مُحَمَّدٌ" tanda rofa'nya adalah dhommah, dan menashobkan khobar kaana yaitu "كَرِيْمًا" tanda nashobnya adalah fathah.

Nah, pada pembahasan manshubatul asma, yang dibaca nashob adalah khobarnya kaana sama seperti contoh di atas, khobar kaana adalah "كَرِيْمًا" tanda nashobnya adalah fathah.

Baca Selengkapnya di sini.


10. Isim Inna wa Akhwatuha (اسم إنّ وأخواتها)

Inna wa akhwatuha (Inna dan saudara-saudaranya) ialah  sekelompok huruf (kata depan) yang biasanya berada sebelum  isim. Jika sebuah  jumlah ismiyah (kalimat yang tersusun dari mubtada’ dan khabar) didahului oleh Inna atau saudara-saudaranya, maka akan mengakibatkan  mubtada’ menjadi manshub dan dinamakan  isim Inna, dan khabar tetap marfu dan dinamakan  khabar Inna. Seperti:
Kalimat pertama
§  ٌاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيْم
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui
Lafad اللَّهُ menjadi Mubtada' [dibaca rofa'], sedangkan lafad سَمِيعٌ menjadi khobarnya [dibaca rofa']

Kalimat kedua kemasukan إِنَّ
§ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيْم
bahwasannya  Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui
Lafad اللَّهَ berubah menjadi isim إِنَّ dan dibaca Nashob dengan fathah, sedangkan Kata سَمِيعٌ tetap dibaca rofa' dengan tanda dhommah karena sebagai khabar Inna.

Nah, dalam pembahasan manshubatul asma ini, yang dibaca nashob pada poin 10 adalah isim inna, sama seperti contoh di atas § إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيْم
Lafad اللَّهَ berubah menjadi isim إِنَّ dan dibaca Nashob dengan fathah

Baca Selengkapnya di sini.


11. Munada (المنادى) 

Definisi Munada merupakan   klimat isim yang dinamakan  sesudah atau jatuh setalah huruf   nida. Penggunaan Munada dengan mempergunakan huruf-huruf   panggilan huruf   nida supaya  yang dipanggil mengunjungi  atau menoleh untuk  yang memanggil. Dalam bahasa arab, nida' artinya ialah  seruan.
Contoh Munada: ياَ عَبْدَ اللهِ
Atau laksana  وَلَقَدْ اَتَيْنَا دَاوُدَ مِنَّا فَضْلاً ط يَا جِبَالُ اَوِّبِى مَعَهُ وَااطَّيْرَ.

Huruf nida’ berjumlah tujuh macam, yaitu
يا=َ أ= أَيْ= آ= هَياَ=أَياَ=وَا

Keterangan :

Huruf Nida (أَيْ) dan (أَ) dipakai  untuk menyeru sesuatu yang dekat. (أَياَ), (هَياَ) dan (آ) guna  menyeru sesuatu yang jauh. (ياَ) untuk seluruh  munada, baik dekat, jauh atau sedang. (وَا) guna  ratapan, yaitu dipakai  untuk meratapi sesuatu yang dirasakan  sakit, Contoh: (وَا كَبِدِي!)

Sedangkan andai  (ياَ) ditentukan dalam menyeru nama Allah ta’ala, sampai-sampai  nama Allah jangan  diseru dengan yang lainnya, dan dalam istighatsah (permintaan tolong), sampai-sampai  tidak diizinkan  meminta bantu  dengan di samping  (ياَ)

Huruf . (ياَ) dan (وَا) ditentukan guna  nudbah, sampai-sampai  selain dua-duanya  tidak dapat  digunakan guna  nudbah, tetapi  (وَا) dalam nudbah lebih tidak sedikit  digunakan.

Baca Selengkapnya di sini.


12. TAWABI' LIL MANSHUB

Tabi’ ialah  kata yang mengekor  hukum kata sebelumnya ditinjau dari segi  i’rab.

Istilahnya:

اَلْمَتْبُوْعُ = Kata yang diikuti

اَلتَّابِعُ = Kata yang mengikuti

ada 4 macam tabi' (tawabi') :

a. اَلنَّعْتُ — نَعْتٌ / مَنْعُوْتٌ (NA'AT)

Na’at ialah  tabi’ yang menyifati isim sebelumnya. Na’at dapat  disebut sifat.

Contoh:

 رأيت الأمِيْرَ العادلَ  'saya melihat seorang pemimpin yang adil itu'
Antara Na'at dan Man'ut sama-sama manshub (dibaca nashob dengan tanda nashob fathah).
العادلَ --> NA'AT

الأمِيْرَ --> MAN'UT

Antara Na'at dan Man'ut di atas keduanya mempunyai kedudukan yang sama yaitu Nashob karena Man'ut nya sedang menempati kedudukan Maf'ul, maka Na'at juga harus dibaca Nashob.

Baca Selengkapnya tentang NA'AT di sini: Na'at (Sifat)


b. اَلْعَطْفُ — عَطْفٌ / مَعْطُوْفٌ ('ATHAF)

‘Athaf ialah  tabi’ yang terletak sesudah  huruf-huruf   athaf (huruf-huruf   penghubung / penyambung)
Contoh:

اِشْتَرَيْتُ المَنْزِلَ وَ السَّيَّارَةَ  > Saya telah membeli rumah dan mobil

Dari misal  diatas dapat anda  ketahui bahwa (المَنْزِلَ) sebagai Ma’thuf alaih sebab  yang disambungi, sementara  (السَّيَّارَةَ) sebagai Ma’thuf sebab  yang menyambungkan.

السَّيَّارَةَ --> MA'TUF

وَ --> HURUF 'ATHAF

المَنْزِلَ --> MA'THUF 'ALAIH

Antara Ma'tuf dan Ma'tuf 'Alaih harus dibaca sama dalam i'robnya.

Baca selengkapnya di sini: Athaf (Penyambung)



c. اَلتَّوْكِيْدُ — تَوْكِيْدٌ / مُؤَكَّدٌ (TAUKID)

Taukid ialah  tabi’ yang dilafalkan  di dalam kalimat guna  menguatkan atau menghilangkan keragu-raguan dari si pendengar.
Contoh:

رَأيْتُ الأُسْتَاذَ نَفْسَهُ (Saya benar-benar melihat ustadz tersebut)

نَفْسُهُ --> TAUKID guna  memperkuat bahwa yang dilihat adalah الأُسْتَاذَ

Baca Selengkapnya tentang TAUKID sini: Taukid (Penguat)


d. اَلْبَدَلُ — بَدَلٌ / مُبْدَلٌ مِنْهُ (BADAL)

Badal ialah  tabi’ yang dilafalkan  di dalam sebuah  kalimat guna  mewakili kata sebelumnya, baik mewakili secara borongan  ataupun sebagiannya saja.
Contoh:

اَكَلْتُ الرَّغِيْفَ ثُلُثَهُ = Aku sudah  memakan roti tersebut  sepertiganya (bukan semuanya)

Jadi, yang dimakan itu ialah  roti melulu  saja tidak semuanya tapi melulu  sepertiganya. Yang menjadi misal  badalnya ialah  kata sepertiganya (ثُلُثَهُ) sementara  mubdal minhunya adlah kata roti (الرَّغِيْفَ ).

Baca Selengkapnya tentang BADAL di sini: Badal (Pengganti)


Demikianlah penjelasan tentang Isim-isim yang harus dibaca Nashob, semoga bermanfaat dan selamat belajar. :)

Perngertian Tashghir (التصغير) dalam Ilmu Sharaf

Perngertian Tashghir (التصغير) dalam Ilmu Sharaf

Pembahasan pada postingan kali ini adalah mengenai BAB tasghir (التصغير) yang bermanfaat untuk menunjukkan suasana kecilnya sesuatu / mengecilkan. Dalam makalah akan membicarakan tentang tasghir yang mencakup : definisi tasghir, macam-macam tasghir, faedah dan kriteria tasghir.

A. Pengertian Tashghir
Tasghir secara bahasa ialah menjadikan kecil atau mengecilkan. Sedangkan secara istilah ialah mensifati sebuah perkara sebab keadaannya kecil dengan teknik yang singkat, atau format kalimat yang bermanfaat untuk menunjukkan makna kecil atau Sedikit.
Ada 3 wazan tasghir ialah sebagai inilah :

  1. Wazan فعيل, wazan tasghir ini dipakai untuk isim tsulasi.
    Contohnya : رجل - رجيل (laki-laki kecil)
  • Adapun guna tsulasi yang sesudah huruf ketiga berupa ta’nits
    Contohnya : شجرة - شجيرة (pohon kecil)
  • Jika di antara huruf dari isim tsulasi itu ada yang dibuang, maka, andai akan mentashgirkan huruf yang dilemparkan tidak mesti dibalikkan pada yang asli. Contoh :
    وعيدة menjadi عدة اصله وعداة
    يدية  menjadi يد اصله يدي
  • Jika terdapat kalimah yang hurufnya terdapat yang dibuang bilamana huruf yang ketiga bukan ta’rits maka mentasghirnya mirip dengan lafadz yang ada.
    Contoh : فاض – فاضي – فويض
  • Jika ada di antara huruf dari lima tsulasi itu ada yang diganti dengan ta’ atau hamzah, maka andai di tasghir huruf dengan kata lain kembali.
    Contoh : اخيّة menjadi اخت اصله اخو
    2. Wazan فعيعل, wazan tasghir ini guna isim ruba’i

    • Sighat tasghir ini guna kalimah isim yang terdiri dari 4 huruf lebih yang dibuntuti wazan فعيعل
      Contohnya : درهم – درهيم
      (dirhamnya sedikit/sedikit dirham) / (satu dirham)
      مسجد - مسجيد
      (masjid kecil/masjid mini)
    • Jika terdapat huruf yang sebelum akhir berupa huruf ilat itu diganti dengan ya’ yang bertardid.
      Contoh : رغيف - رغيّف (sedikit roti)
    • Apabila terdapat isim ruba’i yang mendapat huruf zaidah baik mufrad, tasniyah, jama’.
      Contoh : (gelang) اسورة - اسيورة
    • Jika terdapat huruf yang dilemparkan dalam jama’ taksir tersebut boleh ganti dengan huruf ya’ yang ditaruh sebelum akhir, misal :
      Contoh : (sekolah kecil)
      اصله : مدرسة – مدارسى - مديرس
    • Jika terdapat huruf yang dilemparkan pada jama’ taksir yang mengekor wazan , dalam sighat tasghir juga dibuang, misal :
      Contoh : (jambu)
      اصله – فعالل – فعيعل
      سفرجل – سفارج - سفريج
       3. Wazan فعيعيل, wazan tasghir ini guna isim khumasi yang huruf sebelum akhir berupa huruf ilat dan huruf ilat itu harus diganti dengan ya’
    Contoh : سلطان - سليطين (raja kecil)
    • Apabila terdapat 5 huruf atau lebih namun yang satu huruf mad, maka mengekor wazan فعيعيل, misalnya : عصفور - عصيفير
    • فعيعيل Wazan ini guna isim khumasi yang huruf sebelum akhir berupa huruf ilat dan huruf ilat itu harus diganti dengan ya’
    •  فعيعيل ialah mentasghir isim yang bentuk dengan kata lain empat huruf.
      Contoh : قرطاس-قريطس


    B. Macam-macam Tasghir
    Ada dua macam tasghir :
    1. Tasghir asli yakni mentasghir isim yang berasal dari isim yang tidak terdapat huruf tambahnya.
    Contoh :
    نهر – نهير
    هل – هليل
    يد - يديه

    2. Tasghir tarkhim ialah mentasghirkan isim setelah terlebih dahulu dilepaskan dari seluruh huruf zaidah yang terdapat padanya, dalam urusan ini terdapat 2 wazan, yakni :
    - فعيل yaitu andai isim yang bersangkitan format aslinya tiga huruf, tetapi bila yang diberi nama dengan menggunakan isim tersebut ialah mudzakar, maka dilepaskan dari تاء تأنيث . bila muanas maka menggunakan تاء تأنيث
    contoh : (mantel kecil) معطف - عطيف
    (nama orang perempuan) حبلى - حبيلة
    - فعيعيل ialah mentasghir isim yang bentuk dengan kata lain empat huruf.
    Contoh : قرطاس-قريطس
    عصفور-عصيفر

    Namun bilamana hurufnya melulu 2 asli maka format tasghirnya ialah :
    a. Jika huruf yang kedua tersebut shahih, maka dia diputuskan sebagaimana aslinya setelah diciptakan nama, dan bila disusun ditasghirkan, maka huruf yang kedua di ta’dhifkan (dobel).
    Contoh : هل – هليل
    ان - انيئ

    b. Apabila huruf yang kedua tersebut huruf ‘ilat, maka ketika disusun nama (‘alam) ia mesti didobelkan. Contohnya : ما،كي, maka diciptakan nama (alam) menjadi
    ماء tasghirnya موي
    كي tarsghirnya كييّ
    Beberapa format tasghir yang syadz, ulama berpengalaman nahwu sudah menyepakati bentuk-bentuk syadz merupakan:
    Contoh, (waktu isya’) عشاء - عشيان
    (lawan) عشة – عشيشية
    (beberapa a kecil) صبية - اصيبية
    مغرب menjadi مغيربان akan namun yang sangat tepat ialah menjadi format مغربان tapi artinya tetap sama.
    Seperti : لقيت مغرب الشمش ومغربانهما
    Artinya : aku menemuimu menjelang terbenamnya matahari.


    C. Syarat-syarat Tasghir
    Ada 4 tasghir yakni :
    1. Dia mesti isim, sebab tasghir adalahsifat dalam satu arti fi’il dan huruf dan tidaklah adalahdua sifat.

    2. Harus mu’rab, guna dhomir, istifham, dan kriteria dan kam hobariah dan semacamnya tidak dapat di tasghir sebab merupakan, jadi tidak dapat diubah-ubah.
    Misal : مهيمن - مسيطر sebab bentuknya sama dengan tasghir

    3. Tidak dapat berubah lafadz

    4. Maknanya mesti dapat menerima tasghir, maka guna isim-isim taqdim tidak dapat untuk ditasghir.
    Contoh : الله، ملائكة، النبي

    Fungsi sebuah isim disusun tasghir :
    1. Bagi penghinaan atau merendahkan sesuatu
    Misal : جبل – جبيل
    عالم – عويم
    شاعر - شويعر

    2. Untuk memandang kecilnya sebuah dzat
    Misal : ولد - وليد

    3. Menunjukkan sedikitnya kadar suatu bilangan
    Contoh : (beberapa daun) وريقات – يقم وريقات نافعة
    اشتريت كتايابدرحيهمات

    4. Menunjukkan dekat sebuah zaman / waktu
    Contoh : ويتام بعيد العشاء

    5. Untuk mengindikasikan kasih sayang
    Contoh : ياصديقى - يابنيتى

    6. Menunjukkan dekat sebuah tempat
    Contoh : فويق - تحيت

    7. Menunjukkan sebuah penghormatan
    Contoh : البائس مسكين

    8. Menunjukkan suatu memuliakan / memuja
     Contoh : عزيزة

    Pengertian Inna wa Akhwatuha (إنّ و أخواتها) dalam Ilmu Nahwu

    Pengertian Inna wa Akhwatuha (إنّ و أخواتها) dalam Ilmu Nahwu

    A. Pengertian
    Inna wa akhwatuha (Inna dan saudara-saudaranya) ialah  sekelompok huruf (kata depan) yang biasanya berada sebelum  isim. Jika sebuah  jumlah ismiyah (kalimat yang tersusun dari mubtada’ dan khabar) didahului oleh Inna atau saudara-saudaranya, maka akan mengakibatkan  mubtada’ menjadi manshub dan dinamakan  isim Inna, dan khabar tetap marfu dan dinamakan  khabar Inna. Seperti:
    Kalimat pertama
    §  ٌاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيْم
    Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui
    Lafad اللَّهُ menjadi Mubtada' [dibaca rofa'], sedangkan lafad سَمِيعٌ menjadi khobarnya [dibaca rofa']

    Kalimat kedua kemasukan إِنَّ
    § إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيْم
    bahwasannya  Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui
    Lafad اللَّهَ berubah menjadi isim إِنَّ dan dibaca Nashob dengan fathah, sedangkan Kata سَمِيعٌ tetap dibaca rofa' dengan tanda dhommah karena sebagai khabar Inna.


    B. Fungsi Inna wa Akhwatuha (إِنَّ وَ أَخْوَتُهاَ)
    Inna wa wakhwatuha mempunyai  fungsi:
    تَنْصِبُ الْاِسْمَ وَتَرْفَــعُ الْــــخَبَر

    Menasabkan isim inna dan merofa’kan khabar inna.
    contoh jelasnya sama seperti pada poin A:

    Kalimat yang kemasukan إِنَّ
    § إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيْم
    bahwasannya  Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui
    Lafad اللَّهَ berubah menjadi isim إِنَّ dan dibaca Nashob dengan fathah, sedangkan Kata سَمِيعٌ tetap dibaca rofa' dengan tanda dhommah karena sebagai khabar Inna.


    C. Yang Termasuk ke Dalam Inna wa Akhwatuha (إِنَّ وَ أَخْوَتُهاَ)

    إِنَّ وَ أَخوَتُهاَ : إِنَّ, أَنَّ, كَأَنَّ, لَكِنَّ, لَيتَ, لَعَلَّ

    Inna dan saudara-saudaranya yakni  : Inna, Anna, Kaanna, Lakinna, Laita, La’alla.

    Dan arti  إِنَّ dan أَنَّ guna  taukid (mengukuhkan/penguat kata) dan كَأَنَّ guna  tasybih (menyerupai) dan لَكِنَّ guna  istidrak (susulan), yakni  menyusul ucapan  yang kemudian  dengan ucapan  yang terdapat  di belakangnya, dan لَيتَ guna  tamanni, yaitu menginginkan  sesuatu yang tak dapat  berhasil, dan لَعَلَّ guna  taraji dan tawaqqu’, merupakan   mengharapkan sesuatu yang baik, yang barangkali  berhasil.

    1. إنَّ
    Inna dengan kata lain  : Sesungguhnya
    Fungsinya : Bagi  penegasan huruf   atau mengokohkan pembicaraan
    إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيءٍ قَدِيرٌ
    Artinya : Sesungguhnya Allah atas masing-masing  sesuatu Maha Kuasa
    Kata qodir marfu’ dengan dhommah, dan kata Allah mansub dengan fathah

    2. أَنَّ
    Anna dengan kata lain  : bahwa
    Fungsinya : Bagi  penegasan huruf   atau mengokohkan pembicaraan
    لاَبُدَّأَنَّهُم يُرِيدُونَ مِنهُ دَلِيللاً
    Artinya: Sesungguhnya mereka tentu  menghendaki alasan  dari padanya.
    أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ الله
    Artinya: Aku menyatakan  bahwa Muhammad ialah  utusan Allah.

    3. كَأَنَّ
    Kaanna dengan kata lain  : seakan-akan
    Fungsinya : penyerumpamaan
    Contoh :
    كَأَنَّكَ نَاءِلٌ مَرَامَكَ
    Artinya : agaknya engkau sukses  mencapai maksudmu
    كَأَنَّ وَجْهَكَ بَدرٌ
    Artinya : seolah-olah  wajahmu tersebut  bulan purnama.

    4. لَكِنَّ
    Lakinna dengan kata lain  : bakal  tetapi
    Fungsinya : menyangkal
    Contoh :
    هُوَ عَالِمٌ لَكِنَّهُ غَيرُعَامِلٍ
    Artinya : dia pandai namun  tidak melaksanakan  ilmunya.

    5. لَعَلَّ
    Laalla artinya: semoga/agar
    Fungsinya : pengharapan
    Contoh :
    لَعَلَّ عَلِيٌّ مَرِيضٌ
    Artinya : Semoga Ali sakit.

    6. لَيْتَ
    Laita dengan kata lain  : seandainya
    Fungsinya : berangan-angan
    Contoh :
    لَيْتَ الشَّباَّ يَعُودُ يَوماً
    Artinya : sekiranya  masa muda itu dapat  kembali.


    D. Qowaid
    1. Tempat-Tempat Hamzah Inna Dibaca Fathah dan Dibaca Kasroh

    • Fathah

    Apabila inna bila   ditakwil sebagai masdar maka hamzahnya me sti di fathah,
    contoh:
    يُعْجِبُنِي أَنَّ زَيْدًا قَائِمٌ
    تأويلانيا (أي يُعْجِبُنِي قِيَامُ زَيْدٍ)


    • Kasroh

    1. Jatuh di mula  al-kalam (إِذَا وَقَعَتْ أَوَّلُ الْكَلاَمِ ), misalnya
    إِنَّ زَيْدًا قَائِمٌ .
    2. Jatuh dalam awalan shilah ( وَقَعَتْ صَدْرُ الصِّلَةِ ), misalnya
    جَاءَ الَّذِي إِنَّهُ قَائِمٌ
    3. Sebagai jawaban sumpah, contohnya  وَاللهِ إِنَّ زَيْدًا قَائِمٌ
    4. Sebagai hikayat sebuah  ungkapan, contohnya  قَالَ زَيْدًا إِنَّ عَمْرًا قَائِمٌ
    5. Menempati tarkib haal, contohnya  زُرْتُ زَيْدًا وَإِنِّي ذُوْ أَمَلٍ
    6. Jatuh sesudah  af’al al-Qulub yang sudah  tetangguhkan amalannya oleh اللاّم , contohnya  عَلِمْتُ إِنَّ زَيْدٌ اْلعَالِمُ .
    7. Setelah أَلاَ اْلاِسْتِفْتَاحِيَّةِ , contohnya  أَلاَ إِنَّ زَيْدًا قَائِمٌ .
    8. Setelah حَيْثُ , contohnya  اِجْلِسْ حَيْثُ إِنَّ زَيْدًا جَالِسٌ .
    9. Bila jumlah inna menjadi sifat, contohnya  مَرَرْتُ بِرَجُلٍ إِنَّهُ فَاضِلٌ .
    10. Bila jumlah inna menjadi khobar dan isim dzat, contohnya  زَيْدٌ إِنَّهُ قَارِئٌ


    • Kasroh/ fathah

    1. Ia berposisi sesudah  إِذَا اْلفُجَائِيَّة (tiba-tiba atau mendadak), misalnya: خَرَجْتُ فَإِذًا إِنَّ زَيْدًا قَائِمٌ .
    2. Setelah fi’il sumpah, dimana pada khabarnya إِنَّ tidak ada  اللاّم , laksana  حَلَفْتُ إِنَّ زَيْدًا قَائِمٌ .
    3. Setelah فاء الجزاء / فاء الجواب , laksana  مَنْ يَأْتِنِي فَإِنَّهُ مُكْرَمٌ .
    4. Setelah mubtada’ dengan arti  ucapan, sementara  khabarnya إِنَّ pun  berarti ucapan sedangkan  subjeknya tunggal. Seperti
    خَيْرُ اْلقَوْلِ إِنِّي أَحْمَدُ .


    2. Inna dan Saudaranya yang Dibatalkan Pengamalannya
    Inna dan saudarnya bila   diberi maa (مَا) zaidah itu dapat  batal amalnya.
    Contoh: إِنَّمَا زَيْدٌ عَالِمٌ
    Tetapi terkadang terdapat  yang tetap amal.
    Contoh: لَيْتَمَا زَيْدًا قَائِمٌ
    Adapun laita ( لَيْتَ ) , meskipun ditembus  maa (مَا ), maka ia tetap beramal menashabkan mubtada’ dan merafa’kan khabar atau boleh tidak beramal.
    Contoh: لَيْتَمَا زَيْدًا قَائِمٌ .
    Kata زَيْدًا dibaca nashab menjadi isimnya لَيْتَمَا , dan قَائِمٌ menjadi kata لَيْتَمَا dalam misal  ini masih tetap beramal. Boleh jugaلَيْتَمَا tidak beramal, dan kata زَيْدًا dibaca rafa’, sampai-sampai  susunannya menjadi
    لَيْتَمَا زَيْدٌ قَائِمٌ


    3. Hukum Inna dan Saudara-saudaranya yang Ditakhfif (Nun-Nya Disukun)

    • إِنَّ

    Inna (إِنَّ ) hukumnya bila   ditakhfif (nunnya disukun) tersebut  boleh amal boleh tidak serta bilamana  tidak beramal maka me sti  memberi lam fariqoh (لام فارقة ) pada lafadz yang sesudahnya.
    Contoh: إِنْ زَيْدٌ لَقَائِمٌ .
    Dan lebih tidak sedikit  muhmal-nya ( tidak amal ) dari pada amalnya.
    Huruf “إِنْ “ di atas berasal dari “إِنَّ “ yang ditakhfif, ia bukan lagi  beramal menashabkan mubtada’. Karena itu, kata sesudahnya tetap dibaca rafa’.

    • أَنَّ

    Anna ( أَنَّ) hukumnya bila   ditakhfif (nunnya disukun) dan lantas  isimnya tentu  berupa dhomir sya’an (ضمير شأن ) yang ditabung  dan khabarnya tentu  berupa jumlah.
    Contoh: عَلِمْتُ زَيْدٌ قَائِمٌ .
    Dan bila   ada yang isimnya bukan dlomir sya’an (ضمير شأن) maka hukumnya langka. Contoh: فَلَوْ أَنَّكَ فِي يَوْمِ الرَّخَاءِ سَأَلْتَنِي .


    • كَأَنَّ dan لَكِنَّ

    Kaanna (كَأَنَّ ) juga dapat  ditakhfif dan yang kaprah isimnya berupa dlomir sya’an (ضمير شأن ) yang disimpan. Contoh: كَأَنْ شَدْيَانُ خُقَانِ .
    Tetapi ada pun  yang diputuskan  walaupun sedikit. Contoh: كَأَنْ زَيْدًا أَسَدٌ
    Kata ka’an (كَأَنْ ) ialah  dari kata (كَأَنَّ ), yang nunnya ditakhfif dan ia masih tetap beramal. Adapun lakinna (لَكِنَّ ) bilamana  nunnya ditakhfif maka tidak dapat  beramal.

    Demikianlah beberapa penjelasan singkat tentang inna wa akhwatuha, semoga dapat bermanfaat dan menambah ilmu pengetahuan kita tentang Nahwu amiin. Selamat belajar. :)

    Pengertian Nakirah dan Marifah (النكرة والمعرفة) dalam Ilmu Nahwu

    Pengertian Nakirah dan Marifah (النكرة والمعرفة) dalam Ilmu Nahwu

    Sebelum melangkah lebih jauh membahas nakiroh dan ma'rifah, temen-temen  harus memahami  terlebih dahulu bahwa isim (kata benda) itu dibagi  menjadi dua, yaitu: umum dan khusus, yang dalam bahasa Arab dinamakan  juga dengan isim nakirah (umum) dan makrifah (khusus).

    1. Nakirah
    Isim nakirah ialah  isim yang masih umum atau global, kata benda yang mana, yang seperti apa, terdapat dimana, kepunyaan  siapa, dan lain sebagainya,sehingga tidak bisa mengindikasikan  benda tersebut, sebab  maknanya umum.

    2. Makrifah
    Isim makrifah ialah  kata benda yang berarti khusus dan memiliki  kandungan arti  tertentu sehingga membuat  mutakallim (orang yang berbicara)  dan pendengar sudah memahami  apa yang dimaksud.

    A. Ciri-ciri Nakiroh dan Ma'rifah
    Berikut ini adalah beberapa poin yang harus kita ketahui tentang ciri-ciri nakiroh dan ma'rifah di bawah ini :
    1. Nakirah

    • Isimnya bertanwin ( ً ٍ ٌ )
    • Biasanya tidak ditandai dengan huruf   Alif-Lam ( ال )
    • Menunjukan kata umum, bukan nama orang tertentu.

    Contohnya :
    ذَلِكَ بَيْتٌ
    Itu adalah sebuah rumah
    [Kata بَيْتٌ merupakan isim nakiroh, karena terlihat jelas ciri-cirinya terdapat tanwin di akhir huruf, tidak terdapat alif-lam, maka menunjukan sesuatu yang umum]

    2. Ma'rifah

    • Dibubuhi dengan huruf   Alif-Lam ( ال ) di awalnyaContohnya :
      الوَلَدُ صَالِحٌ
      Anak itu adalah anak sholeh
      [kata  الوَلَدُ termasuk isim Ma'rifah, karena terdapat huruf alif-lam di awalnya]
    • Jika dalam suasana  idhafahIdhafah ialah  dua isim yang digabung menjadi satu, sehingga menimbulkan makna  yang baru, isim pertama menjadi mudhof dan isim kedua menjadi mudhof ilaih, contoh kata:
      كِتَابُ زَيْدٍ > Kitab milik Zaid kedua kata di atas sebenarnya dua kata yang berbeda, tapi setelah digabungkan dan mengikuti aturan main idhofah, maka keduanya menjadi ma'rifah atau kata khusus 'kitab milik zaid' > sudah dapat diketahui bersama bahwa kitab tersebut adalah milik Zaid.
    • Jika kata yang di-idhafat-kan untuk  kata tunjuk (isim isyarah)Contohnya :
      فَلْيَعْبُدُوا رَبَّ هَٰذَا الْبَيْتِMaka hendaklah mereka menyembah tuhan empunya  rumah ini (Ka’bah)[isim isyaroh هَٰذَا beridhofah dengan kata الْبَيْتِ , maka otomatis kata هَٰذَا الْبَيْتِ sudah menjadi ma'rifah, walaupun sebenarnya kata الْبَيْتِ saja itu sudah ma'rifah karena ia mempunyai alif-lam.
    • Jika kata ganti (isim dhamir)
      Contohnya :
      أنَا كاتب الدرس
      Saya adalah orang yang mencatat  pelajaranSemua isim dhamir baik adalah termasuk ma'rifah, macam-macam isim dhamir bisa diliat pada link di bawah ini:

       Pengertian Isim Dhomir dan Pembagiannya dalam Ilmu Nahwu
    • Jika kata sambung (isim mausul)الذين يرثون الفردوس
      Yang bakal  mewarisi surge firdaus


    Baca Juga: Pengertian, Pembagian, dan Contoh-contoh Isim Maushul (اسم الموصول) dalam Ilmu Nahwu


    • Jika kata tunjuk (isim isyarah)Contohnya :
      هَٰذَا كتاب
      ini adalah suatu  buku


    Baca Juga:  Pengertian Isim Isyarah (الإسْمُ الإشَارَةِ) dalam Imu Nahwu


    • Jika isim alam (nama orang)Isim alam ialah  kata yang mengindikasikan  suatu nama orang atau diri, gelar, lokasi  atau nama semacam gelar
      Contohnya :
      قَالَ زَيْدٌ لِأبِيْهِ
      Zaid berkata pada ayahnya



    B. Sebab-sebab Penggunaan Nakirah dan Makrifat

    1. Nakirah

    • Menginginkan arti  tunggal, seperti:نَظَرْتُ إِلَى رَجُلٍ يَقُوْمُ أمَامِي
      Saya melihat seorang laki-laki yang sedang berdiri di depan sayaMaksudnya ialah  satu orang laki-laki.
    • Menginginkan jenisnya, seperti:وَعَلَى أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌDan pada penglihatan-penglihatan mereka tersebut  ada penutup.Maksudnya ialah  semacam penutup yang asing yang tidak dikenal oleh para insan  dengan teknik  menutup terhadap sesuatu yang tidak bisa  ditutupi oleh penutup-penutup yang lain.
    • Ta’dzim (pengagungan), dalam definisi  bahwa dia ialah  lebih agung daripada bila  diterangkan  atau disebutkan, laksana  :فَأْذَنُوْا بِحَرْبٍMaka umumkanlah perangMaksudnya ialah  dengan pertempuran  apa saja.
    • Taktsir (memperbanyak), seperti:أَئِنَّا لَنَا لأَجْرًاApakah kami bakal  mendapatkan ganjaran).Maksudnya ialah  yang sempurna yang banyak.
    • Tahqir (meremehkan) maksudnya ialah  terperosoknya nilainya sampai untuk  suatu suasana  dimana dia tidak pantas  untuk dijelaskan. Seperti :إِنْ نَظُنُّ إِلاَّ ظَنَّاKamu tidak beda  hanyalah berprasangka dengan sebuah  prasangkaMaksudnya ialah  prasangka hina yang tidak bisa  dijadikan sebagai pedoman. Jika tidak demikian, maka mereka tentu  mengikutinya, sebab  itulah kelaziman  mereka.
    • Taqlil (menyedikitkan), laksana  :وَ رِضْوَانٌ مِنَ اللهِ أَكْبَرُ
      dan keridlaan dari Allah ialah  lebih besar.Maksudnya ialah  keridlaan yang tidak banyak  dari-Nya ialah  lebih besar daripada surga-surga. Karena keridlaan-Nya ialah  pincak masing-masing  kebahagiaan. Sedikit dari-Mu Cukup untukku, namun  Sedikit-Mu Tiada dapat  dikatakan sedikit.



    2. Ma'rifah

    • Dengan teknik  menuliskan  isim ‘alam (nama), supaya  semula diketahui oleh pendengarnya dengan teknik  menuliskan  suatu  nama yang eksklusif  baginya, laksana  :قُلْ هُوَ اللهُ أَحَد
      Katakanlah: “Dialah Allah yang satu
    • untuk menghormati  atau menghinakan, andai  penyebutannya secara jelas mewajibkan  hal itu. Contoh dari pemuliaan ialah  penyebutan Ya’qub dengan gelarnya, Isra’il, sebab  nama tersebut  dari Allah. Mengenai gelar ini terdapat  dalam ulasan  khusus dalam Ilmu Tafsir (Ulumul Quran)
      Dan misal  penghinaan ialah  :
      تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍCelakalah Abu LahabDan pada nama ini ada suatu  rahasia lain, yakni  sindiran bahwa dia tergolong  penghuni Neraka Jahanam.
    • Dengan menunjukkannya (isyarah) guna  membedakannya dengan pembedaan yang lebih sempurna serta menghadirkannya di dalam pikiran  pendengar secara kasat mata, seperti:هَذَا خَلْقُ اللهِ فَأَرُوْنِى مَاذَا خَلَقَ الَّذِيْنَ مِنْ دُوْنِهِ
      Ini ialah  ciptaan Allah, maka perlihatkanlah kepadaku apa yang dapat dibuat  oleh yang selain-Nya.
    • Bagi  pemaparan sebab  ketidaktahuan pendengar, bahkan dia tidak dapat  mengetahuinya kecuali dengan isyarat indrawi. Dan ayat ini sesuai  untuk misal  ini. Dan untuk menyatakan  sejauhmana kedekatan dan kejauhannya. Maka dipakai  isim isyarah.
    • Bermaksud guna  menghinakannya dengan memakai  kata penunjuk dekat, seperti ucapan  kaum kuffar :أَهَذَا الَّذِى يَذْكُرُ ءَالِهَتَكُمْ
      mereka berkata: “Apakah ini orang yang mencaci  tuhan-tuhanmu.
    • Bagi  maksud mengagungkannya dengan memakai  kata penunjuk jauh, laksana  :ذَالِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ فِيْهِ
      Kitab tersebut  tiada keraguan di dalamnya
    • Bagi  lebih menyerahkan  perhatian kepadanya dengan memakai  kata penunjuk sesudah  sebelumnya dilafalkan  sifat-sifat yang mengindikasikan  bahwa urusan  tersebut  memang pantas  untuk mendapat imbalan dari apa yang dilafalkan  setelahnya, seperti:أُولَئِكَ عَلَى هُدًا مِنْ رَّبِّهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
      Mereka itulah orang-orang yang mendapatkan tuntunan  dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang berbahagia.
    • Atau dengan memakai  isim maushul sebab  keengganan untuk melafalkan  nama spesialnya, yang mungkin diakibatkan  untuk menutupinya, menghinanya atau untuk destinasi  lain. Seperti:وَالَّذِى قَالَ لِوَالِدَيْهِ أُفٍّ
      Dan orang yang berbicara  kepada kedua orang tuanya: “ah [ekspresi menolak/tidak suka]”.
    • Dan ma’rifah dengan idhafah sebab  keadaannya, yang adalah jalan sangat  ringkas atau untuk memuliakan  mudlaf, seperti:
      إِنَّ عِبَادِيْ لَيْسَ لَكَ عَلَيْهِمْ سُلْطَانٌ
      Sesungguhnya hamba-hamba-Ku, anda  tidak memiliki keterampilan  terhadap mereka.
    • Atau guna  maksud yang umum, seperti:
      فَلْيَحْذَرِ الَّذِيْنَ يُخَالِفُوْنَ عَنْ أَمْرِهِ
      Maka hendaklah orang-orang yang melanggar perintah-Nya tersebut  menjadi takut.
      Maksudnya ialah  semua perintah-perintah Allah.

    Demikianlah beberapa penjelasan tentang Nakiroh dan Ma'rifah, semoga dapat menambah pengetahuan kita tentang Nahwu dan bahasa Arab ya, selamat Belajar. :)

    Pengertian Mustatsna (المستثنى) dalam Ilmu Nahwu

    Pengertian Mustatsna' (المستثنى) dalam Ilmu Nahwu

    Pengertian Mustatsna’ (مستثنى )
    Mustatsna’ (مستثنى ) yakni  isim manshub (yang dibaca nashob) yang terletak setelah  huruf istitsna’ untuk menyatakan  hukum yang bertolak belakang  dengan sebelumnya, bahasa gampangnya, mustatsna' ialah bab yang menerangkan kata yang yang 'dikecualikan' yang jatuh setelah huruf istitsna'. Adapun Isim yang terletak sebelum huruf   istisna’ dinamakan  mustatsna’ minhu (مستثنى منه ).
    Contoh:
    جاءَ الطُّلَّابُ إلاّ زَيْدًا
    [ الطُّلَّابُ : مستثنى منه ،  زَيْدًا : مستثنى ].
    Kata “ إلاّ “ ialah  salah satu huruf   istitsna’. Kata sebelumnya yakni  “الطُّلَّابُ “ dinamakan  mustatsna’ minhu (مستثنى منه), dan kata setelahnya “ زَيْدًا “ dinamakan  dengan mustatsna’ (مستثنى).

    Pembagian Mustatsna’ (مستثنى )
    Mustatsna’ terbagi menjadi dua, yaitu;
    a. Muttashil ( متصل )
    Yaitu mustatsna yang sebenarnya adalah  bagian dari kelompok mustatsna’ minhu.
    Contoh:
    جاءَ المُدَّرِسُوْنَ إِلَّا مَحْمُوْدًا : para  guru sudah  datang kecuali Mahmud.
    Jika kita lihat, mustatsna di atas adalah kata مَحْمُوْدًا (Mahmud), dan ia adalah bagian dari mustatsna' minhu nya yaitu المُدَّرِسُوْنَ (para guru), atau menunjukan bahwa sebenarnya Mahmud juga seorang guru hanya saja ia tidak datang.
    Mustatsna’ muttashil ini bermanfaat  sebagai takhshis (pengkhususan) sesudah  ta’mim (kata umum)

    b. Munqathi’ ( منقطع )
    Yaitu muststsna’ yang bukan bagian dari jenis  mustatsna’ minhu. atau kebalikan dari mustatsna Muttashil di atas.
    Contoh:
    احْتَرَقَتْ المَدْرَسَةُ إلاّ الكتُبَ : Sekolah tersebut  terbakar kecuali sejumlah  buku .
    Mustatsna' di atas adalah kata 'الكتُبَ', dan mustatsna' minhunya adalah 'المَدْرَسَةُ', antara keduanya kata ini adalah hal yang berbeda, maka dinamakan juga mustatsna' munqati'.
    Mustatsna’ munqati’ berfaedah untuk istidra’ (kebalikan/pengecualian) bukan takhsis (pengkhususan).

    Huruf-huruf   Istitsna’
    Istitsna’ mempunyai  8 huruf, yaitu:
    إلاّ و غيرٌ و سِوًى و خَلا و عَدا و حَاشَا و ليسَ و لا يكونُ .

    Hukum Pembacaan Istitsna'
    Penggunaan huruf-huruf  tersebut diatas dipecah  menjadi empat, yaitu:
    1. Mustatsna' bi illa al-muttashil
    ( المُسْتَثْنَى بِإلاَّ المُتَّصِل)
    Mustatsna’ jenis ini memiliki  tiga keadaan:
    • Wajib dibaca Nashab
      Yaitu bilamana  kalimatnya tam lagi mujab (kalimat sempurna dan positif/tidak ada kata negatifnya), mustatsna’nya dilafalkan  baik letaknya sebelum atau juga  sesudah mustasna’. Contoh:
      المثال الأول : ينجحُ الطُلَّابُ إلاَّ الكَسُوْلَ
      المثال الثاني : ينجحُ إلاّ الكسولَ الطُلَّابُ
    • Jawaz Nashab dan Badaliyah (boleh dibaca Nashob, boleh juga dibaca rofa' karena menjadi badal)
      Yaitu bilamana  kalamnya tam manfiy (berupa kalimat sempurna tapi terdapat kata negatifnya 'tidak') atau syibh manfiy (menyerupai kalimat yang mengandung kata negatif 'tidak'), dilafalkan  mustasna’ minhunya.
      > Contoh tam manfiy (kalimat sempurna dengan kata negatif 'tidak'):
      - Boleh dibaca Nashob menjadi mustatsna':
      ما جاء الطُلاَّبُ إلا زَيْدًا
      [زَيْدًا : مستثنى، منصوب وعلامة نصبه فتحة ظاهرة في آخره لأنه اسم المفرد]
      Sekumpulan siswa tidak datang, kecuali Zaid[Zaid: menjadi Mustatsna' dan dibaca nashob, tanda nashobnya adalah fathah yang nampak diakhirnya, karena termasuk isim mufrod]
      - Boleh juga tetap dibaca Nashob tapi kedudukan sebagai Badalnya mustatsna minhu:ما رَأيْتُ الطُلاَّبَ إلا زَيْدًا
      [زَيْدًا : بدل منصوب]
      Saya tidak melihat para siswa, kecuali Zaid[Zaid: menjadi badal dari الطُلاَّبَ dan dibaca nashob]

      Boleh dibaca Rofa' karena menjadi Badal:
      ما جاء الطُلاَّبُ إلا زَيْدٌ[زَيْدٌ : بدل ل " الطُلاَّبُ " مرفوع]
      Sekumpulan siswa tidak datang, kecuali Zaid[Zaid: menjadi Badal untuk kata 'الطُلاَّبُ', dan ia dibaca Rofa']

      Baca Juga: Pengertian Lengkap Tentang Badal 'البدل' dalam Ilmu Nahwu


    • Kalam Naqis (Hukum saat kalimatnya tidak sempurna, maka pembacaan mustatsna'nya sesuai dengan jabatannya dalam kalimat.
      Yaitu bilamana  kalamnya manfiy atau syibh manfiy, dan mustasna’nya tidak disebutkan.
      Contoh:
      > Dibaca Rofa' karena menjadi fa'il:ما جاءَ إلا زَيْدٌ   
      [زَيْدٌ : فاعل مرفوع]
      Hanya Zaid yang datang
      [Zaid: menjadi Fa'il dan dibaca rofa', tanda rofa'nya dommah]

      > Dibaca Nashob karena menjadi Maf'ul bih:ما رأيتُ إلا سَمَكًا
      [   سَمَكًا : مفعول به منصوب وعلامة نصبه فتحة ظاهرة في آخره لأنه اسم المفرد ]
      Saya hanya melihat Ikan[Ikan: menjadi maf'ul bih, dan dibaca nashob  tanda nashobnya adalah fathah yang nampak diakhirnya, karena termasuk isim mufrod]

      > Dibaca Jar karena kemasukan huruf Jar:ما مررتُ إلا بِــزَيْدٍ
      [  زَيْدٍ : اسم مجرور ]
      Saya hanya bertemu dengan Zaid[Zaid: isim yang dibaca jar dengan kasroh karena sebelumnya terdapat huruf jar 'بِ']
    2. Mustatsna' bi illa munqati'an (المُستثنى بإلا منقطعاً )
    Mustatsna’ dengan huruf illa tapi yang munqati' (antara mustatsna' dan mustatsna' minhu berbeda jenis), mustatsna' jenis ini mesti dibaca nashab, baik letaknya sebelum atau setelah  mustatsna’ minhu, atau baik kalamnya mujab [kalimat positif/tanpa kata 'tidak'] atau manfiy [kalimat negatif dengan kata 'tidak'].
    Contoh:
    جاءَ زَيْدٌ إلا حَقِيْبَتَــهُ
    [حَقِيْبَةَ : مستثنى منصوب وعلامة نصبه فتحة ظاهرة في آخره لأنه اسم المفرد ]
    Zaid telah datang, kecuali tasnya.[Tas: mustatsna' dibaca nashob, tanda nashobnya adalah fathah yang nampak diakhirnya, karena termasuk isim mufrod]

    ما جاءَ زَيْدٌ إلا حَقِيْبَتَــهُ
     [حَقِيْبَةَ : مستثنى منصوب وعلامة نصبه فتحة ظاهرة في آخره لأنه اسم المفرد ]
    Zaid tidak datang, kecuali tasnya
    [Tas: mustatsna' dibaca nashob, tanda nashobnya adalah fathah yang nampak diakhirnya, karena termasuk isim mufrod]

    3. Mustatsna' dengan huruf غير dan سوى
    (المستثنى بغير و سوى)

    Mustatsna’ jenis ini harus dibaca jar/majrur selamanya dengan cara idhafah ( غير dan سوى menjadi mudhof, adapun mustatsna' nya menjadi mudhof ilaih maka dibaca jar)
    Contoh:
    جاءَ القومُ غيرَ زَيْدٍ
    Sekumpulan kaum telah datang kecuali Zaid
    جاءَ القومُ سوى زَيْدٍ
    Sekumpulan kaum telah datang kecuali Zaid

    Kedua huruf istitsna’ ini memakai  hukum المستثنى بإلا (mustastna' dengan huruf إلا ) dalam i’rab.
    Contoh:
    > Kalam manfy (kalimat negatif)
     مَا جَاءَ غيرَ عَلِيٍَ أحدٌ
    Tak seorang pun yang datang kecuali Ali
    [kata غيرَ : dibaca nashob karena kalimatnya manfy, dan ia mendahului mustatsna' minhu 'أحدٌ'

    > Kalam tam manfy (kalimat sempurna + negatif) dibaca Nashob
    مَا احْتَرَقَ الفَصْلُ غيرَ سَبُّوْرَتِــهِ
    Kelas tersebut tidak terbakar, kecuali papan tulisnya
    [kata غيرَ : dibaca nashob karena kalimatnya manfy, dan mustatsna 'سَبُّوْرَتِــهِ' tidak mendahului mustatsna' minhu 'الفَصْلُ', dan mustatsna' ini juga masuk kategori munqati']

    > Kalam tam manfy (kalimat sempurna + negatif) sebagai Badal
    ما جاءَ القومُ غيرُ الـمُسَافِرِيْنَ
    Sekumpulan kaum tidak datang, yang mana bukan termasuk para musafir
    [Kata غيرُ dibaca Rofa' dengan dhommah, karena menjadi Badalnya kata 'القومُ']

    Baca Juga: Pengertian Lengkap Tentang Badal 'البدل' dalam Ilmu Nahwu

    > Kalam tam manfy (kalimat sempurna + negatif)
    ماجَاءَ القومُ غيرَ زَيْدٍ
    Sekumpulan kaum tidak datang kecuali Zaid
    [Kata غيرَ dibaca Nashob dengan fathah, karena kalimatnya tam manfy 'kalimat sempurna dan negatif']

    > Kalam naqis manfy (kalimat tidak sempurna dan negatif) sebagai Fai'il:
    ما ذَهَبَ غيرُ زَيْدٍ
    Tak ada yang pergi selain Zaid
    [kata غيرُ menjadi fa'il dan dibaca Rofa' dengan dhommah,karena kalimatnya manfy dan tidak disebutkan mustatsna' minhunya]

    > Kalam naqis manfy (kalimat tidak sempurna dan negatif) sebagai Maf'ul bih:
    ما رأيتُ غيرَ زَيْدٍ
    Saya tidak melihat seseorang kecuali Zaid
    [Kata غيرَ menjadi maf'ul bih dari fi'il رأيتُ, ia dibaca Nashob dengan fathah, karena termasuk kalimat naqis manfy dan mustatsna' minhu nya tidak disebutkan]

    > Kalam naqis manfy (kalimat tidak sempurna dan negatif) yang dibaca Jar:
    مررتُ بــغيرِ زَيْدٍ
    Saya bertemu dengan selain Zaid
    [Kata غيرِ dibaca jar sebab didahului huruf jar, dan juga karena termasuk kalimat naqis manfy dan mustatsna' minhu nya tidak disebutkan]


    4. Mustatsna' dengan خَلا, عَدَا, dan حاشا
    (المُستثْنى بِخَلا و عَدَا و حاشا)
    Mustatsna’ jenis ini mempunyai  dua hukum, yaitu:

    • Mustatsna' dibaca Nashob sebagai maf’ul bih, karena kata خَلا, عَدَا, dan حاشا sebagai fi’il madhi, jadi mustatsna'nya itu menjadi maf'ul bih dari kata خَلا, عَدَا, dan حاشا.
      Contoh:
      ذَهَبَ القومُ خَلا زَيْدًا
      Sekumpulan kaum pergi meninggalkan Zaid (membuat Zaid sendirian)
      [Kata خَلا adalah huruf istitsna' dan termasuk fi'il madhi, maka ia membutuhkan maf'ul bih, dan kata زَيْدًا lah yang menjadi maf'ul bih nya]
    • Mustatsna dibaca Jar karena خَلا, عَدَا, dan حاشا menjadi huruf jar tambahan.
      Contoh:
      رَجَعَ القومُ حاش زَيْدٍ
      [Kata حاش dianggap sebagi huruf jar, maka kata setelahnya 'mustatsnanya' harus dibaca jar زَيْدٍ].

      Lafad خلا serta lafad عدا paling sering menashobkan mustasna' dan jarang sekali membuat mustasnanya dibaca jar. Adapun lafad  حاش paling sering membuat mustasnanya dibaca jar dan jarang sekali menashobkan mustasnanya.
    5. Mustatsna dengan lafad ليس dan  لا يكونُ
    ليس dan لا يكونُ adalah bagian dari fi’il naqis (kata kerja yang tidak lengkap, baca juga: Pengertian Fi'il Tam dan Fi'il Naqis). Namun terkadang dua-duanya  bermakna ististna’. Mustasna’ dari lafad ليس dan لا يكونُ keadaannya akan selamanya dibaca Nashob, sebab  mustatsna tersebut menjadi khabarnya.
    Contoh:
    ذَهَبَ القومُ ليس زَيْدًا
    Sekumpulan kaum yang telah pergi bukanlah Zaid

    Demikianlah penjelasan ringkas tentang Pengertian Mustatsna' (المستثنى) dalam Ilmu Nahwu, semoga dapat bermanfaat dan menambah ilmu. Selamat belajar. :)