Al-Qur’an mempunyai susunan kalimat yang sangat indah, tertib, penuh makna dan rapih. Untuk mengetahui keindahan bahasanya, diperlukan penguasaan bahasa Arab yang sangat mendalam, di antara cabang ilmu yang mempelajari hal demikian yaitu ilmu balaghah
Dalam sekian banyak literatur bahwa disiplin ilmu ini adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan yang menjadi alat guna menguak kemukjizatan al-Qur`an. Posisinya dalam tatanan kumpulan ilmu-ilmu Arab serupa seperti posisi ruh dari jasad. Dengan kata lain, ilmu balaghoh adalah media yang bisa menghantarkan seseorang mengetahui ke-i’jaz-an dan keindahan al-Qur`an.
Seseorang yang hendak menjadi mufassir, mutlak menguasai ilmu ini supaya bisa mengetahui isi dan pesan-pesan yang tersirat maupun tersurat dalam al-Qur`an. Dalam urusan ini al-Zamakhsyari menuliskan bahwa ilmu yang sangat sarat dengan rahasia yang rumit, sangat padat isinya sehingga menciptakan manusia kendala memahaminya, tergolong orang alim sekalipun, yakni ilmu tafsir. Dan, tidak akan dapat mendalami esensi ilmu ini kecuali mempunyai kompetensi dan kredibilitas dalam dua spesifik ilmu yakni ilmu ma’ani dan bayan. Kedua ilmu ini dipelajari dalam ilmu balaghah.
Secara ilmiah, ilmu balaghah adalah suatu disiplin ilmu yang menunjukkan pembelajaran guna dapat mengungkapkan gagasan, pikiran, dan perasaan seseorang menurut pada kejernihan dan kecermatan dalam menciduk keindahan bahasa. Juga dapat menjelaskan perbedaan yang ada salah satu macam-macam uslub (ungkapan). Dengan menguasai konsep-konsep balaghah akan memahami rahasia-rahasia bahasa Arab dan seluk beluknya. Juga akan dapat membuka rahasia-rahasia kemu’jizatan al-Qur`an dan al-Hadits.
Al-Balaghah dipecah menjadi sejumlah kelompok. Pertama, ilmu ma’ani, yang mempelajari rangkaian bahasa dari segi penunjukkan artinya dan mempelajari teknik menyusun kalimat supaya sesuai dengan muqtadhaa al-haal. Kedua, ilmu bayan, yang mempelajari cara-cara penggambaran imajinatif. Ketiga, ilmu badi’, yang mempelajari karakter lafazh dari segi kesesuaian bunyi atau kecocokan makna.
Perkembangan Ilmu Balaghah
Pada dasarnya ilmu yang berhubungan ketepatan dan keindahan berbahasa ini sudah menjadi pengetahuan yang menghiasi sekian banyak perkataan orang Arab, baik dalam puisi maupun prosa, jauh sebelum al-Qur’an turun. Namun, kehadiran al-Qur’an sudah menjadi salah satu hal munculnya ilmu balagha. Keindahan bahasa al-Qur’an menciptakan pakar bahasa waktu tersebut kagum. Al-Qur’an dinyatakan sebagai buku yang mempunyai ketepatan dan keindahan berbahasa Arab yang tak tertandingi.
Pada pertumbuhan selanjutnya, semakin luasnya difusi orang Arab dengan non-Arab ternyata perlu ilmu bahasa yang bermanfaat mengukur ketepatan dan keindahan berbahasa Arab. Orang-orang non-Arab tidak dapat memahami keindahan bahasa Arab tanpa mempelajari kaidah bahasa yang benar yang berlaku di bangsa Arab.
Tema-tema ilmu balaghah sendiri hadir setelah ilmu nahwu dan sharaf berkembang pesat di zaman Khalifah Umayyah. Ketika tersebut para ulama pakar sastra mulai bicara mengenai makna fashahah dan balaghah dan berjuang menjelaskannya dengan misal dan bukti-bukti yang diriwayatkan dari orang-orang sebelum mereka.
Namun ilmu ini mulai dikenal luas ketika dinasti Abbasiyah. Pada ketika itu, terjadi polemik yang sengit di kalangan semua sastrawan dan para berpengalaman bahasa dalam mengungkap mukjizat al-Qur`an. Ketegangan ini dimunculkan oleh di antara pendapat Ibrahim al-Nidzam yang menuliskan bahwa al-Qur’an tidak mempunyai kekuatan mukjizat berupa kefasihan dan kebalighannya. Bahkan, seluruh orang Arab pasti dapat membuat kalimat yang nilainya sama dengan bahasa yang dipakai al-Qur`an. Pendapat ini mengundang reaksi keras semua pakar sastra dan ulama masa-masa itu. Mereka lantas menulis suatu risalah yang isinya menampik semua argumen Ibrahim al-Nidzam, dan mengungkap kebobrokan aliran yang dianut olehnya.
Kitab yang kesatu kali dibentuk dalam bidang balaghah yaitu buku Majazul Qur’an karangan Abu ‘Ubaidah Ma’mar bin Al-Mutsanna (wafat 208 H), siswa Al-Khalili (wafat 170 H). Kitab ini mengandung ilmu bayan. Sedangkan ilmu ma’ani, tidak diketahui tentu orang yang kesatu kali menyusunnya. Namun, ilmu ini paling kental dalam pembicaraan semua ulama, khususnya al-Jahidz (wafat 225 H) dalam I’jazul Qur’an. Adapun penyusun buku ilmu badi’ pada masa awal ialah Abdullah Ibn al-Mu’taz (wafat 296 H) dan Qudamah bin Ja’far dengan Naqd asy-Syi’r dan Naqd an-Natsr (wafat 337 H).
Baru pada abad kelima hijriyah hadir seorang ulama yang menggabungkan ilmu-ilmu tersebut mempunyai nama Abu Bakar Abdul Qahir al-Jurjani (wafat 471 H). Al-Jurjani mengarang buku tentang ilmu ma’ani dengan judul Dalailul I’jaz, dan mengenai ilmu bayan dengan judul Asrorul Balaghah. Kemudian setelah tersebut datanglah Abu Ya’qub Sirajuddin Yusuf as-Sakakiy al-Khawarizmi (wafat 626 H) dengan kitabnya yang membicarakan tentang ilmu balaghah lebih menyeluruh daripada lainnya, yaitu buku dengan judul Miftah al-‘Ulum.
Pada masa itu ilmu balaghah berkembang pesat sebab adanya persinggungan dengan ilmu kalam dan filsafat berhubungan dengan i’jazul Qur’an. Persinggungan ini menimbulkan istilah Madrasah Adabiyyah dan Madrasah Kalamiyyah berdasar kecenderungan yang dipilih dalam mengerjakan pembahasan balaghah.
Tiap-tiap madrasah ini memiliki karakteristik tersendiri. Para pakar Madrasah Kalamiyyah memusatkan pembahasan balaghahdengan menciptakan batasan-batasan lafdzi dan spirit perdebatan. Kemudian konsentrasi dengan membuat sekian banyak macam definisi-definisi dan kaidah-kaidah tanpa tidak sedikit menunjukkan contoh-contoh bukti sastrawi baik puisi maupun prosa. Bagi menilai tepat dan estetis atau tidaknya bahasa, mereka tidak sedikit berpegang pada analogi filsafat dan kaidah-kaidah logika.
Sedangkan Madrasah Adabiyyah, paling berlebihan dalam mengemukakan bukti-bukti (contoh-contoh) sastrawi baik puisi maupun prosa, dan tidak banyak sekali menyimak tentang pengertian dan lain-lainnya. Bagi menilai tepat dan estetis atau tidaknya bahasa mereka lebih tidak sedikit berpegang pada rasa seni, keindahan daripada untuk filsafat ataupun logika.