Contact Us - Privacy Policy - Disclaimer - Terms of Service - About
loading...

Pengetian Nun Taukid (نون التوكيد) yang bersama dengan Fi'il


Pengetian Nun Taukid (نون التوكيد) yang bersama dengan Fi'il


Nun taukid adalah nun yang terletak pada akhir fi'il, bertugas untuk menguatkan atau mempertegas suatu pekerjan (fi'il), Nun taukid sendiri ada yang tsaqilah (berat ditunjukkan dengan tasydid) contoh: 

أكْتُبَـنَّ الرِّسَالَةَ   Saya benar-benar menulis surat itu

.

atau bisa juga nun taukid khofifah (ringan ditunjukkan dengan tanpa tasydid tapi dengan sukun), contoh:

لَأكْتُبَـنْ رِسَالَةً  Saya benar-benar menulis sebuah surat.


Nun taukid khofifah (nun ringan tanpa tasydid) juga boleh ditulis dengan  alif dan berharakat fatha tanwin, dan ini sesuai dengan madzhab ulama-ulama kufah, seperti dalam kalimat pada ayat suci al-qur'an :

لَيُسْجَنَنَّ وَلَيَكُوْناً مِنَ الصَّاغِرِيْنَ   Niscaya dia akan dipenjarakan dan dia akan termasuk golongan orang-orang yang hina


Nun taukid biasanya masuk pada fi'il 'amr dan fi'il mudhori, dan pada fi'il 'amr maka sangat boleh kemasukan nun taukid, contoh : 

إجْتَهِدَنَّ  Benar-benar bersungguh-sungguhlah kamu (laki-laki)

تَعَلَّمَنَّ  Benar-benar belajarlah kamu (laki-laki)


Adapun dalam fi'il madhi maka nun taukid tidak berboleh ada, tapi sebagian ulama berpendapat, "jika nun taukid masuk pada fi'il madhi secara lafadz, yang maknanya menunjukkan arti masa yang akan datang, maka bisa saja nun taukid masuk pada fi'il madhi tersebut tapi sangat jarang. 

Contohnya dalam hadist Nabi :

فَإمَّا أدْرَكَنَّ أحَدٌ مِنْكُمْ الدَّجَالَ   Maka siapapun dari kalian yang benar-benar menjumpai dajjal...

kata  أدْرَكَنَّ   fi'il madhi tapi mempunyai makna yang menunjukkan arti masa yang akan datang, maka nun taukid bisa memasukinya.


Adapun pada fi'il mudhori, maka tidak boleh ditaukidi dengan nun taukid, kecuali sebelumnya terdapat huruf wosam (huruf sumpah, contoh: وَاللهِ، بِاللهِ ، تَاللهِ) , atau sebelumnya terdapat huruf huruf tholab (kata permohonan), atau setelah nafyi (kalimat negatif), atau setelah huruf maa (مَا) tambahan.


Berikut ini adalah hukum nun taukid jika masuk pada fi'il mudhori:


1) Fi'il mudhori dapat ditaukidi dengan nun bisa jadi wajib

Fi'il mudhori dihukumi wajib menggunakan nun taukid jika fi'il mudhori berupa tetap dan mempunyai arti yang akan datang, dan juga menjadi kalimat jawab dari kata qosam (kata sumpah), tapi syaratnya fi'il mudhori tersebut bukan menjadi jawab qosam yang berkalimat negatif (jawab qosamnya tidak boleh berupa kalimat negatif), contoh dalam Al-qur'an:

تَاللهِ لَأكِيْدَنَّ أصْنَامَكُمْ

kata لَأكِيْدَنَّ   adalah fi'il mudhori yang berarti masa yang akan datang, dan jika kita lihat sebelum fi'il mudhori terdapat kata qosam yaitu : تَاللهِ 


Dan jika kalimat jawab dari kata sumpah itu berupa kalimat negatif, maka tidak perlu diberi nun taukid.

tapi ada juga kasus dimana jawaban kata sumpahnya tidak terdapat kata negatif, tapi tetap dihukumi tidak menggunakan nun taukid, itu karena kita mengkira-kira aslinya terdapat kata negatif pada jawabannya, contoh:

 وَاللهِ أفْعَلُ  Demi Allah saya akan melakukan

maka jika dia melakukan maka dia dosa, karena sebenarnya yang dimaksud adalah dia bohong dan yang sebenarnya akan dia katakan adalah : 

وَاللهِ لَا أفْعَلُ  Demi Allah saya tidak akan melakukan

karena terdapat huruf negatif (لَا) maka nun taukid tidak masuk pada kalimat di atas.

Tapi jika memang benar yang dia maksud adalah akan melakukannya, maka wajib dia mengatakan setelah kata sumpah ditambah nun taukid setelah fi'il mudhorinya, contoh :

وَاللهِ لَأفْعَلَنَّ  Demi Allah saya pasti benar-benar akan melakukan.

maka pada saat itu, jika dia tidak melakukannya dia mendapat dosa.


2) Nun taukid bisa dihukumi boleh atau sunnah jika masuk pada fi'il mudhori

Fi'il mudhori yang kemasukan nun taukid bisa dihukumi sunnah atau boleh menggunakan nun taukid, jika dalam empat keadaan:

  • Jika fi'il tersebut jatuh setelah salah satu kata tholab atau kata permohonan, yaitu (lam perintah atau huruf lam pada fi'il 'amr), (huruf laa nahi atau huruf laa yang berarti jangan), atau kata tanya, atau kata harapan (tamanna 'harapan yang tak mungkin', dan tarojji 'harapan yang bisa tercapai'), atau juga kata penghususan. contohnya yaitu :

    fi'il mudhori yang didahului laa naahi yang berarti jangan=
    لَا تَكْسَلَنَّ  Sungguh Janganlah kamu malas! 

    fi'il mudhori yang didahului kata tanya =
    هَلْ تَفْعَلَنَّ الخَيْرَ؟  Apakah kamu benar-benar melakuka kebaikan?

    fi'il mudhori didahului kata tamanna 'harapan yang tak mungkin terjadi'=
    لَيْتَكَ تَجِدَنَّ  Andai saja kamu benar-benar dapat menemukan

    fi'il mudhori didahului kata tarojji 'harapan yang bisa tercapai'=
    لَعَلَّكَ تَفُوْزَنَّ   semoga kamu benar-benar menang

  • Fi'il mudhori harus menjadi kalimat syarat setelah kata syarat yang menggunakan kata maa tambahan (مَا), jika kata syaratnya atau adaatu syarth nya berupa in (إنْ) maka penggunaan nun taukidnya itu mendekati wajib, bahkan sebagian ulama mewajibkan nun taukid pada kalimat syarat yang menggunakan in (إنْ), adapun contoh kalimat syarat yang tidak menggunakan in yaitu:
    فَإمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِدْ بِالله  Dan jika syetan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. 

    kata syarat atau aadatu syarth nya adalah kata فَإمَّا  , dan menggunakan huruf maa, maka fi'il mudhori setelahnya harus menggukan nun taukid يَنْزَغَنَّكَ  .  

  • Fi'il mudhori boleh menggunakan nun taukid juga jika fi'il tersebut diawali dengan kata negatif laa 'لَا' tapi syaratnya harus menjadi kalimat jawab dari kata sumpah, seperti firman Allah :
    وَاتَّقُوْا فِتْنَةً لَا تُصِيْبَنَّ الذِيْنَ ظَلَمُوْا مِنْكُمْ خَاصَةً   Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu

  • Fi'il mudhori boleh menggunakan nun taukid juga jika fi'il mudhori tersebut terletak setelah maa tambahan (مَا), yang tidak jatuh pada kalimat syarat. contoh:
    بِعَيْنٍ مَا أرَيَنَّكَ  Dengan mata aku benar-benar melihatmu



Referensi :

  • Kitab Jamiud Durus, Jilid 1, Halaman 88 dan 89.